Historiografi dan Masalah Relevansi Kekinian

Senin, 30 September 2013

Manusia dalam kehidupannya, baik secara individual maupun sosial, sesungguhnya tidak bisa terpisah dari sejarah, sebagaimana juga manusia sebagai individu tidak bisa dipisahkan dari ikatan lingkungan sosialnya. 
Hal pertama didasarkan bahwa ciri eksistensi manusia memiliki struktur historikalitas, yakni ‘eksistensi yang mewaktu atau menyejarah’. Manusia sebagai obyek, struktur ke’kini’annya tidaklah bersifat statis, tetapi lebih merupakan ‘dialogi’ atau perjumpaan yang terus menerus antara masa lalu dan masa depan. Apapun yang dipikirkan dan apapun prilaku yang ditunjukkan oleh manusia pada hari ini, selalu berorientasi ke masa lalu dan masa depan, yang oleh Husserl disebutkan bahwa ‘manusia setiap saat berretensi dan berprotensi’, yaitu mengenggam yang sudah dan menjangkau yang akan datang (Husserl dalam Poespoprodjo, 1987 : 27). Dengan demikian, masa lalu bukanlah merupakan kurun waktu yang secara definitif telah ditutup, akan tetapi selalu berkaitan dengan eksistensi manusia di waktu kini, dan waktu ‘kini’ sekaligus juga memiliki keterarahan ke masa depan.
Selengkapnya...

Sejarah Sebagai 'Rememoration'

Selasa, 29 Juni 2010

BUKU “Pembantaian PKI di Indonesia: Kasus Jawa dan Bali 1965-1966” (terjemahan dari The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali) ini bukan hanya memaparkan suatu wilayah ingatan yang boleh dikatakan kurang mendapat perhatian dari para sarjana Indonesia maupun asing, tetapi secara tidak langsung juga menawarkan satu jenis historiografi alternatif dalam membahas kekerasan massal masa lampau. Dengan memusatkan perhatiannya pada pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh komunis menyusul meletusnya ‘Gerakan 30 September 1965’, buku ini tampak berupaya keluar dari perdebatan tentang apa dan siapa dalang di balik ‘Gerakan’ itu. Saya kira bukan maksud buku ini untuk menganggap perdebatan semacam itu sama sekali tidak berguna, tetapi yang hendak ditekankan adalah sesuatu yang tidak kalah seriusnya dalam perjalanan sejarah Indonesia sesudah 1965, yakni pembantaian massal yang membawa berbagai efek psikologis, sosial dan kultural yang terasa hingga jauh sesudah pembantaian itu selesai. Dalam istilah sejarawan Prancis Pierre Nora, penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian itu disebut ‘rememoration’.

Sebagai satu jenis historiografi, ‘rememoration’ menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan ‘apa yang sesungguhnya terjadi’ itu sendiri (Nora, 1996: xiv). Buku The Indonesian Killings ini layak disebut sebagai satu bentuk ‘rememoration’ sekurang-kurangnya dalam tiga hal.

Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan Bali, apapun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, buku ini hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengkambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih dari tiga dasawarsa.

Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu, buku ini mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang menyusul ‘Gerakan 30 September 1965’ bukan sekedar pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah ‘Kesaktian Pancasila’ menjadi simbol dari keterputusan sejarah yang dramatis.

Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan ‘apa yang terjadi di seputar 30 September 1965’ dan masa-masa sesudahnya, buku ini hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai ‘penyelamat negara dan bangsa’ dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap ‘keblinger’ (baca: mereka yang dituduh komunis). Wacana populer semacam ini turut membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai ‘pengkhianat’ sekalipun.

Tampak bahwa buku ini menjelaskan masa kini bukan dengan mengaitkannya dengan masa lampau, tetapi dengan bagaimana masa lampau diingat kembali (to rememorate) pada masa kini (bab 4). Dalam konteks bagaimana Orde Baru membangun hegemoni ideologi, tampak bagaimana masa lampau telah dimonumenkan. Dan monumen jelas satu bentuk ingatan yang parsial, memuja kebenaran monolitik, dan merayakan sejarah sebagai sesuatu yang kaku dan baku (Santikarma, 2003). Tetapi, buku ini juga mengingatkan bahwa sekalipun monumen Orde Baru telah tegak berdiri, dokumen-dokumen ingatan yang berserak pada beberapa korban dan saksi tetap tak bisa dibungkam. Artinya, monumen itu tidak akan selamanya sepi dari usikan dan bahkan gugatan.

Ketika buku ini pertama kali terbit (tahun 1990), monumen dan dokumen itu tampak sebagai dua hal yang berada dalam dunia yang berbeda, yakni dunia yang tampak dan dunia yang tersembunyi. Ketika buku ini kini (2003) bisa kita baca dalam bahasa Indonesia yang (konon) tidak sepenuhnya baik dan benar, dokumen-dokumen ingatan itu mulai terartikulasikan secara publik dan mencorat-coret monumen. Terbitnya buku-buku otobiografi sejumlah eks-tapol ‘peristiwa 1965’ jelas merupakan corat-coret atas ‘kesakralan’ monumen Orde Baru tersebut. Tidaklah mengherankan bila mereka yang mendaku turut membangun atau sebagai ahli waris monumen Orde Baru terus-menerus melantunkan lagu ‘bahaya laten PKI’. Jika demikian halnya, sejarah sebagai ‘rememoration’ akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu. Mereka telah menjadi ‘sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri’ (Trouillot, 1995:xviii).

Buku The Indonesian Killings telah turut membantu membukakan wacana baru tentang masa lalu. Tanpa keterbukaan terhadap wacana baru, kita membiarkan diri menjadi sandera masa lalu.

Pustaka

Nora, Pierre (1996) ‘From Lieux de mémoire to Realms of Memory’, dalam Nora, Pierre (ed.) Rethinking the French Past: Realms of Memory, Vol. 1, New York: Columbia University Press.

Santikarma, Degung (2003) ‘Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal: Politik Representasi Kekerasan di Bali’, Kompas, 1 Agustus.

Trouillot, Michel-Rolph (1995) Silencing the Past: Power and the Production of History, Boston: Beacon Press.

© Budiawan
http://www.mesias.8k.com/rememoration.htm


Selengkapnya...

Mentalitas dan Kebudayaan dalam Proses Sosial

Kamis, 11 Juni 2009

Pada tulisan yang lalu telah dikemukakan tentang alternatif analisis yang menjadi kecendrungan akhir beberapa penelitian kontemporer tentang sejarah masyarakat. Analisis mana telah meluaskan ruang-ruang sempit pengkajian tentang perubahan-perubahan sosial. Kehadiran metodologi strukturis yang diperkenalkan pada dasa warsa terkhir telah mencairkan berbagai kekakuan hubungan pendekatan antropologi budaya dan pendekatan sosiologi dalam upaya memperoleh kebenaran atas pengamatan terhadap fenomena manusia. Fenomena mana diyakini memiliki dua sisi yang saling terhubung dan harus menjadi pertimbangan dalam penyelidikannya, yaitu antara struktur sosial sebagai faktor ekstrinsik dan proses mental sebagai faktor intrinsik yang masing-masing memiliki kekuatan pengaturan terhadap prilaku individu dalam kehidupan sosialnya.

Kompleknya hubungan antar struktur dan proses mental dalam fenomena prilaku yang diamati, struktur sosial, dan ekonomi adalah permasalahan dasar untuk kajian sejarah sosial. Para pakar antropologi biasanya tertarik dengan masalah hubungan mentalitas atau kebudayaan dengan masyarakat yang lebih luas. Penonjolan manusia sebagai makhluk budaya merupakan masalah antropologi dan peranan gagasan kebudayaan dalam proses penataan sosial dianggap krusial oleh sejarawan strukturis. Berikut ini akan dikemukakan pembahasan tentang peranan kebudayaan dalam proses sosial sebagai yang menjadi pembahasan Christopher Lloyd dalam bukunya The Structures of History (1993).

Lloyd mengawali tulisannya pada bagian ini dengan mengemukakan sejumlah pertanyaan, yaitu : apa hubungan umum mentalitas atau kebudayaan dengan masyarakat?, adakah hubungan umum ?, apakah dunia mental memegang peranan vital dalam transformasi sosial ?. Dalam rangka membahas pertanyaan-pertanyaan ini, menurutnya, pertama kita harus menjelaskan tentang arti dan konsep dari ide, ideologi, kebudayaan dan mentalitas. Ide biasanya menunjukkan suatu pernyataan umum yang dicatat, dan konsep-konsep eksplisit yang didistribusikan.

Menurut Lloyd, ideologi menunjukkan perenungan (constellation) ide-ide sosio-politik yang menyebutkan pandangan dunia tentang sejarah dan masyarakat yang menjadi pendorong aksi-aksi politik. Studi ideologi merupakan merupakan studi terhadap sistem signifikasi ide yang tidak semua dinyatakan secara eksplisit, karena, menurut para ahli, ideologi bertujuan untuk mencapai asal usul dan peranan politis dari sistem ideasional yang biasanya diambil untuk mencapai efek distorsi terhadap pemahaman sosial. Sedangkan kebudayaan diartikan sebagai konsep yang cakupannya lebih luas daripada dua konsep sebelumnya dan mempunyai beberapa arti yang berkaitan dan tergantung pada perhatian dan latar belakang teoritis pemakainya. Pertama, secara tradisional, konsep ini berarti pernyataan artistik yang lebih formal dari masyarakat dan kelompok. Kedua, meliputi perenungan sistem kepercayaan yang lebih luas, pandangan dunia implisit, bentuk-bentuk pemahaman, ritual dan ekspresi artistik populer. Ketiga, meliputi bentuk-bentuk kehidupan produktif, termasuk alat dan produk-produk material.

Mentalitas adalah istilah yang biasa digunakan secara bergantian dengan arti kebudayaan yang kedua, yaitu : kebudayaan populer dari orang-orang biasa : bagaimana mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka mengekspresikan diri melalui agama, ritual, pakaian, musik dan sebagainya. Singkatnya adalah manifestasi-manifestasi eksternal dari kehidupan mental, suatu tingkat kehidupan yang berkenaan dengan pembentukan perasaan dunia.

Untuk kembali ke pertanyaan tentang peranan kehidupan mental dalam tindakan dan perubahan sosial -menurut pengertian mentalitas- hal itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ekonomi, sosial dan politik ; atau setidaknya, pandangan mereka yang ingin menggunakan abstraksi-abstraksi semacam itu untuk menunjukkan makna penjelasan pentingnya melakukan hal itu. Kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan dapat dirumuskan secara abstrak, akan tetapi apakah abstraksi ini membantu dalam penjelasan?.

Semua bagian kehidupan sosial saling menembus, tetapi dapat dirumuskan secara terpisah. Dalam masyarakat modern barangkali abstraksi-abstraksi ini lebih banyak terlihat dibanding dalam masyarakat tradisional, tetapi mereka tidak menjelaskan tingkat atau bagian-bagian kenyataan struktur riil yang secara radikal terpisah. Ini merupakan salah satu bentuk pembeda utama masyarakat modern. Masyarakat tradisional nampaknya tidak begitu terabstraksi. Dengan kata lain, nampaknya tidak ada hubungan ahistorik umum antara kebudayaan dan struktur sosial. Sekalipun demikian perlu diakui oleh para materialis sejarah bahwa bagian mental memegang peranan vital dalam memotivasi, menyalurkan dan mendominasi agen manusia.

Penolakan untuk menarik pembagian secara tajam antara cabang-cabang yang diduga dari studi sosial dan sejarah dan orientasi antropologis terhadap tindakan dan masyarakat telah hilang dengan metodologi strukturis. Clifford Geertz, misalnya, dianggap sebagai seorang ahli antropologi atau etnologi yang utama meneliti mentalitas kelompok dan masyarakat tertentu, khususnya di Jawa, Bali dan Marokko, tetapi juga dalam masyarakat Barat modern. Tetapi sambil melakukan hal ini, dia juga menyelidiki struktur sosial, politik dan ekonomi dari masyarakat yang dipilih serta memeriksa sejarah-sejarahnya. Robert Darnton telah sangat terpengaruh oleh pemahaman antropologis, termasuk Geertz, saat menelaah mentalitas atau struktur pemahaman dari abad ke 18 Perancis. Emmanuel L Roy Ladurie telah menggunakan perspektif ekonomi, sosial, psikologi, budaya, politik dan geografi dan teori-teori untuk menyelidiki sejarah masyarakat agraris di Perancis dari masa akhir medieval sampai abad ke-19. Ernest Gellner telah menulis secara ekstensif tentang proses timbulnya masyarakat kapitalis modern, kebudayaan dan hubungannya dengan masyarakat tradisional agraris, juga mengenai teori sosial dan sifat masyarakat modern dan kebudayaan. Klaim-klaim serupa tetapi bernuansa cara yang berbeda dapat ditunjukkan dengan karya Nobert Ellias, Barrington More, Philip Abram, Natalie Zemmon Davis, R.S. Neale, Paul Veyne, AlainTouraine, Michel Vovelle dal lain-lain.

Tidak jelas bahwa kaum strukturis putatif semacam itu sering merupakan pakar antropologi atau sangat terpengaruh oleh antropologi. Mereka melihat bahwa proses penataan sosial yang menimbulkan struktur pervasif hubungan material, sosial dan mental yang mengaitkan sejumlah besar orang bersama-sama ke dalam masyarakat ekstensif dan/atau kekuasaan mempunyai asal usulnya dalam kepercayaan, ritual, dan ideologi rakyat. Antropologi sebagai modus pikiran dan penyelidikan telah menjadi paling lengkap, halus dan maju dalam ilmu sosial. Barangkali ini karena pertemuan ekstensif dengan masyarakat asing, kepercayaan dan bentuk-bentuk pemahaman dan kebutuhan pengembangan cara-cara memufakatkan rasionalisme ilmiah barat dengan bentuk-bentuk non ilmiah tradisional mengenai penjelasan dan pemahaman.

Pada dekade baru-baru ini pakar antropologi telah memperluas lingkupnya untuk menyelidiki masyarakat dan kebudayaan barat sekarang ini dan menganggapnya juga sebagai masyarakat yang menghendaki interpretasi dan analisis yang kaya di luar pendekatan sosiologi dan ekonomi yang lebih tradisional.

Kesalahan yang mempersamakan secara sederhana bahwa tradisional sama dengan antropologi dan modern sama dengan sosiologi dalam ilmu sosial telah menimbulkan pertanyaan tentang obyek penyelidikan antropologis yang layak. Menurut pengertian yang paling luas ini berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial budaya dan sebaiknya menolak abtraksi masyarakat dari kontak ekonomi, sosial dan politik dalam rangka menelaah konteks kebudayaannya. Sifat kemanusiaan manusia tidak hanya terdapat dalam masyarakat tradisional atau dalam kebudayaan. Perspektif antropologis atas masyarakat apapun dapat melahirkan kombinasi interpretasi hermeneutik dan penyelidikan ilmiah.

Para sejarawan juga harus berurusan dengan masyarakat asing dan kejadian-kejadian, walaupun ini tidak selalu nyata dari karya tulisnya. Sesungguhnya masa silam merupakan negara asing yang menghendaki penjelasan proses struktur yang tidak kurang sulit dirumuskan daripada penjelasan para pakar antropologi yang meneliti kehidupan masyarakat asing. Pemakaian nilai etnografik oleh semua sejarawan sebaiknya membantu memperbaiki penjelasannya atau membantu membatasi distorsi teoritis dan ?common sense?yang berasal dari sikap sekarang yang terpusat. Tentu saja para sejarawan harus selalu terikat dengan keadaan sekarang, tetapi upaya untuk mengkarantinakan sudut pandang khusus dari melieu ini adalah esensial bila kenyataan-kenyataan zaman-zaman dan tempat-tempat asing harus diselidiki. Tetapi itulah kemungkinan karantina yang telah ditolak oleh pakar teori dan filsafat relativis. Sementara mereka juga telah mendukung sikap etnografis yang telah mereka klaim bahwa semua investigasi adalah subyektif. Kaum strukturis tidak bisa setuju dengan ini, walaupun mereka simpati dengannya. Bagi mereka, kenyataan sosial tidak didekonstruksi oleh pakar teori. Kenyatan sosial dibuat dalam dan melalui aktivitas struktur agen-agen yang mempunyai pemahaman yang sadar dari lingkungan pemahaman sosial dan kultural mereka.

© Irhash A. Shamad.
www.irhash.webs.com


Selengkapnya...

Perlukah Sejarah Nasional Indonesia?

Minggu, 07 Juni 2009

SIKAP penguasa kita yang menjadi perdebatan laten adalah turut mencampuri sejarah orang lain. Lalu memaksakan sejarahnya sebagai dominasi atas sejarah orang lain itu. Begitu seterusnya, tiap pergantian rezim kekuasaan pasti diikuti serangkaian kritik terhadap penulisan sejarah konvensionalnya. Apakah dengan demikian sejarawan akademis justru akan tampil sebagai rezim baru yang akan menebarkan tirani memoria? Yang selalu menulis tanpa ada jaminan obyektivitas yang konsisten? Karena tiap orang pasti takut menulis obyektif di bawah todongan pistol.

PENULISAN sejarah pada masa Soeharto atau kerap disebut rezim Orde Baru (Orba) dilihat selalu dekat dengan penguasa. Penonjolan peran militer dan pengultusan personal sebagai orang yang paling berjasa bagi negara memenuhi buku-buku sejarah dengan label "standar nasional". Dalam hal ini, interpretasi penulis sejarahnya tidak bisa disalahkan begitu saja. Labelisasi itu sejak awal dilukiskan sebagai stigma positif berlakunya nasionalisme baru Indonesia. Sejarawan akademis sebagai pilar penting penulisan sejarah terlibat aktif memaparkan interpretasinya dan menyuguhkan desain konstruksi memoria bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah militer. atau paling tidak mempunyai masa lalu yang berisi para pecundang, kriminal, pembunuhan, dan pengkhianatan.

Herbert Butterfield dalam buku The Whig Interpretation of History (1931) mencoba memberi batasan penilaian yang bisa diberikan oleh sejarawan. Dia mencatat, lepas dari kesalahan penafsiran, sejarawan bertugas untuk memberi argumentasi yang lebih kepada upaya kritik dan moralitas serta menjauhi hasrat untuk menghakimi. Ilham positif yang bisa diterimakan dari "debat kusir" seputar interpretasi adalah kesalahan sejarawan dalam memberi tujuan dari interpretasi sejarah. Jika sejarah obyektif adalah peristiwa (moment) itu sendiri, maka sejarah subyektif berdekatan dengan penafsir (interpreter) yang memberi makna bagi historiografi (penulisan sejarah). Kita masih belum biasa menempatkan sejarawan yang berstatus merdeka dan bebas untuk menulis apa yang perlu dituliskan

Dalam masa Orba, yang paling bertanggung jawab terhadap penulisan sejarah nasional adalah sejarawan akademis. Beranjak dari pengertian, sejarah obyektif harus tunggal dan negara (penguasa) berhak mendistribusikannya demi kepentingan ideologis atau segala sesuatu yang membutuhkan sejarah sebagai legitimasinya. Sejarah dibawa untuk melanjutkan tradisi hegemonik dari pendahulunya, yakni mitologi. Konsep terakhir ini adalah pilar tegaknya pusat-pusat kekuasaan. Ada benarnya jika dikatakan, sejarawan Orba hanya merekonstruksi mitos kepahlawanan (epos), bukan menyajikan sebuah rekonstruksi sejarah.

TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.

Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.

Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.

Titik tolak usulan untuk mereinterpretasi sejarah nasional yang awalnya datang dari kelompok "pinggiran" dan "terpinggirkan" oleh kekuasaan Orba, tidak akan banyak membantu. Selama mentalitas sejarawan yang mengusung dominasi penulisan sejarah di puncak menara gading atas nama akademis dilanggengkan, bisa dikhawatirkan sejarawan akan tetap dekat dengan kekuasaan. Tidak ada upaya kritis untuk menafsirkan peristiwa sejarah dengan leluasa, merdeka, dan variatif.

Setiap negara mempunyai kepentingan untuk menegaskan eksistensi historisnya dengan membuat buku standar. Jika unsur seperti nasionalisme amat kuat pada penulisan sejarah awal kemerdekaan, tidak perlu dimungkiri, nasionalisme membuahkan kedekatan sejarawan dengan kekuasaan. Sejarawan dan penguasa mempunyai tugas sama, yakni
menghakimi.Tuntutan reinterpretasi sejarah nasional pascareformasi 1998 akhirnya membuahkan hasil dengan upaya revisi buku standar Sejarah Nasional Indonesia yang melibatkan ratusan sejarawan. Meski proyek ini belum selesai, namun upaya sosialisasi kepada masyarakat luas belum sepenuhnya terwujud. Penulisan itu terkesan eksklusif karena semua tim berdiri dan dibentuk oleh rezim yang berkuasa.

Dalam negara demokrasi, kekuatan-kekuatan sipil seharusnya lebih optimal. Negara hanya sebagai fasilitator untuk menjembatani pemenuhan kebutuhan warga negaranya untuk bertutur tentang masa lalunya. Pengembangan dan penguatan wahana penulisan sejarah di luar sejarawan akademisi ini sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem demokrasi yang mapan. Lebih tepat dinyatakan, negara akan mendukung setiap usaha historiografi alternatif.

HAMBATAN terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya. Beberapa waktu lalu sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengusulkan dibentuknya Komisi Nasional (Komnas) Sejarah yang berfungsi sebagai komisi independen yang berwenang mengurusi persoalan sejarah, mencakup reinterpretasi, pelurusan sejarah, penyelidikan untuk kepentingan rekonsiliasi yang berada di bawah presiden. Menurut saya, gagasan ini harus diletakkan dalam posisi yang tegas dan didukung aspek legalitas bahwa kekuasaan tidak berhak mengintervensi kerja-kerja Komnas Sejarah. Tetapi apakah bisa? Karena di saat yang sama ada tumpang tindih tugas dan wewenang antara Komnas HAM dan KKR.

Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.

Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi.Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah. Bukan sebagai hegemoni penguasa, tetapi sebagai jati diri personal, masyarakat lebih-lebih sebuah bangsa. Sehingga cukup diperlukan Sejarah Indonesia saja.

© Muhammad Faishal
Direktur History Institute for Society Transformation (HISTra)
Sumber: Kompas Cyber Media


Selengkapnya...

Masalah Analisis Masuknya Islam ke Indonesia

Minggu, 31 Mei 2009

Betapapun seorang sejarawan berusaha untuk menghindarkan diri dari faktor subjektivitas dalam penelitiannya, secara sadar atau tidak, ia akan ia selalu dibayangi oleh faktor itu manakala ia mengungkapkan peristiwa sejarah yang ia teliti. Keterlibatan faktor-faktor subjektivitas--yang bahkan dalam hampir semua penelitian--, pada dasarnya, sulit dihindarkan, karena bagaimanapun dalam menentukan titik pandang terhadap objek yang diteliti, faktor ini sudah tentu ikut berperan. Demikianpun pada saat ia menentukan tujuan penelitian. Dalam kaitan ini, visi pribadi, golongan, agama, ideologi, politik dsb. merupakan dasar pertimbangan yang sangat sulit untuk dihindarkan.

Penulisan sejarah Islam di Nusantara telah ditulis oleh banyak sejarawan dengan sudut pandang --dan mungkin untuk sebahagian dapat disebut sebagai subyektivitas -- yang berbeda-beda. Perbedaan ini ternyata telah mengundang perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan dan tak habis-habisnya hingga saat ini.

Pada dasarnya, perbedaan visi -- dalam beberapa hal-- dapat dibenarkan dalam penulisan sejarah. Namun perbedaan visi tentunya akan sukar diterima bila pengertiannya disetarakan dengan 'pemaksaan keinginan' penulisnya dalam pengolahan fakta-fakta yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah itu. Sama halnya juga dengan, bahwa perbedaan visi tidak dapat dijadikan alasan untuk mendeskripsikan secara imajinatif tentang realitas-realitas sejarah yang sebenarnya tidak atau kurang ia ketahui.

Tulisan ini akan mengemukakan beberapa persoalan pokok diseputar perdebatan-perdebatan klasik tentang masuknya Islam ke Nusantara . Pembahasan ini, disamping merupakan kajian ulang tentang pokok persoalan yang disebutkan, lebih jauh akan dicoba menganalisa sejauhmana keterlibatan subjektivitas dari perbedaan visi itu dapat dipertemukan. Semua itu ditujukan untuk mendapatkan kebenaran sejarah, hingga perdebatan-perdebatan klasik seperti itu tidak terlalu membingungkan, atau setidaknya akan mengurangi kebingungan kita dalam melihat kebenaran sejarah masa lalu.

Persoalan Daerah Asal

Persoalan daerah asal Islam yang diterima pada tahap awal di Nusantara adalah merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan daerah asal akan sangat erat kaitannya dengan bentuk Islam yang diterima itu; apakah Islam diterima dalam bentuknya yang murni atau mungkin sudah tercampur dengan bias-bias kultural daerah asalnya. Yang demikian tentu akan lebih menarik lagi bila dikaitkan dengan kajian-kajian tentang eksistensi Islam di Indonesia pada masa-masa kemudian, seperti yang banyak ditulis oleh para ilmuan hingga saat ini, baik kajian yang menyangkut budaya, pemikiran maupun kenyataan sosial dan politik umat Islam Indonesia sampai pada periode kontemporer.

Persoalan ini akan menjadi ironis manakala dihubungkan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya bertujuan bagi “penipisan” eksistensi Islam itu sendiri di Indonesia seperti yang telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis kolonial, tanpa mempertimbangkan subjektivitas kultural yang mereka miliki dan hanya dipandu oleh otoritas keilmuan yang bukan tanpa disertai unsur subjektiv itu.

Tesis awal tentang daerah asal Islam yang datang ke Nusantara pertama kali diajukan oleh Dr. Pijnappel, seorang Professor dari Universitas Leiden. Ia mengemukakan bahwa Islam Nusantara dibawa dari daerah Gujarat (India) oleh orang-orang Arab yang telah bermukim di daerah itu (cf. Drewes, 1968; 439). Pendapat ini dikembangkan ilmuan-ilmuan selanjutnya seperti JP.Moquette (1912), Snouck Hurgronye, W.F. Stutterheim (1935), J. Gonda (1952) dan lain-lain. JP. Moquette (1912) lebih menekankan argumentasi peninggalan arkeologis yang terdapat di Aceh dan Gresik. Ia membandingkan nisan makam puteri Pasai yang berangka tahun 831 Hijriah (1428 Masehi) dengan nisan makam Maulana Malik Ibrahim (Gresik) adalah sama seperti nisan-nisan makam Umar bin Ahmad Kazaruni yang berangka tahun 1338 Masehi di Cambay Gujarat. (cf. Slamet Mulyana, 1981; 267 dan Azyumardi Azra, 1995; 24-25).

Kesimpulan Moquette inilah yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti yang telah kita sebutkan terdahulu, meskipun kesimpulan tersebut masih perlu dipertanyakan. Moquette ternyata telah melakukan perbandingan yang keliru, karena jarak waktu antara nisan makam puteri Pasai (1428 M.) dengan makam Kazaruni (1338 M.) adalah sangat jauh dan dengan demikian sangat sulit diterima menjadi dasar pertimbangan bagi kesimpulan yang ia ambil itu. Namun para sarjana Belanda lainnya itu hampir semuanya sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan dasar kesimpulan Moquette ini.

Kesimpulan-kesimpulan ini bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia serta kenyataan kolonial Belanda di Indonesia pada saat mana tulisan-tulisan itu dihasilkan (awal abad ke 20), bisa dipahami bahwa penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Belanda sangat mungkin dirasuki oleh kepentingan kolonialisme. Kita ketahui bahwa persoalan Islam di Indonesia menempati prioritas utama dalam pemikiran-pemikiran Belanda. Karena, setidaknya pada akhir abad ke 19 Belanda di Indonesia banyak disusahkan dengan perlawanan-perlawanan Islam, terutama perlawanan-perlawanan yang dimotori oleh tokoh-tokoh yang pernah belajar di Timur Tengah. Belanda harus berfikir keras mencari pemecahan-pemecahan secara kultural soal militansi Islam ini. Untuk upaya inilah mereka melibatkan para sarjana dan ilmuwan untuk menemukan cara-cara yang dapat mengurangi dan membendung militansi Islam itu. Menurut sementara “ahli” Belanda, kelemahan-kelemahan Islam harus ditunjukkan kepada umat Islam sendiri. Pengemukaan fakta bahwa Islam di Indonesia tidak berasal dari Timur Tengah (Arab) dengan sengaja dijadikan sarana untuk memperlonggar keterkaitan antara umat Islam di Indonesia dengan pusat Islam itu sendiri di Timur Tengah. Dengan itu diharapkan fanatisme dan radikalisme umat Islam dapat dikurangi. Adalah sangat mungkin pengemukaan fakta sejarah tentang Islam oleh penulis-penulis Belanda pada awal abad ke 20 itu, terutama kenyataan tentang daerah asal Islam yang diterima oleh bangsa inipun adalah merupakan bahagian dari upaya tersebut.

TW. Arnold menempatkan argumentasinya berdasarkan mazhab yang dianut oleh masyarakat Nusantara. Menurutnya mazhab Syafi'i yang dianut di Nusantara sama dengan yang dianut oleh masyarakat muslim di wilayah Malabar/ Coromandel (pantai barat India) (TW. Arnold, 1913; 365). Karena itu ia berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Malabar bukan dari Gujarat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh G.E. Marrison (Marrison, 1951; 31-37). Ia membantah pendapat tentang Gujarat, karena menurutnya alasan persamaan bentuk nisan sama sekali tidak dapat dijadikan alasan bahwa Islam berasal dari daerah itu. Ia memperkuat kesimpulan ini dengan kenyataan bahwa nisan makam Malik Al Saleh berangka tahun 1297, pada hal Gujarat pada waktu yang sama belum ditaklukan oleh umat Islam. Islam baru meluas ke wilayah ini pada tahun 1298 atau setahun setelah raja Pasai pertama itu meninggal dunia.

Di pihak lain ternyata SQ. Fatimi menafikan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu. Menurutnya sangatlah keliru menilai bahwa terdapat persamaan bentuk nisan-nisan di Nusantara dengan yang terdapat di Gujarat. Persamaan bentuk nisan itu lebih terlihat dengan nisan yang terdapat di Bengal (Benggala) (Fatimi, 1963; 31-32). Jadi sangat mungkin menurutnya bahwa Islam Nusantara dibawa dari Bengal. Pendapat ini tentunya juga menolak-- atau setidaknya ia tidak menggunakan-- alasan persamaan mahzab, karena ternyata bahwa masyarakat muslim Bengal menganut mahzab Hanafi.

Diantara pendapat-pendapat yang telah kita sebutkan terdahulu pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa Islam yang dibawa ke Nusantara berasal dari India, meskipun pendapat tentang daerah asal masih terdapat pertikaian-pertikaian mendasar. Yang perlu dicatatkan disini ialah hampir semua pendapat itu bertolak dari kerangka analisis yang masih perlu ditinjau ulang, karena semua argumen yang dikemukakan pada umumnya ditempatkan pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 M. yaitu atas dasar penemuan arkeologis nisan makam seperti yang telah dikemukakan.

Beberapa dasa warsa terakhir fakta-fakta tentang daerah asal Islam yang masuk ke Nusantara itu kembali dipertanyakan, dan lebih menghangat lagi setelah diselenggarakannya Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 dan diperkuat dengan seminar yang sama di Aceh pada tahun 1967. Kedua seminar ini berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Arab. Kegiatan perdagangan Arab di jalur perdagangan Nusantara yang telah intensif semenjak abad pertama Masehi dijadikan landasan analisis, bahkan dengan telah terdapatnya komunitas-komunitas Arab pada jalur-jalur perdagangan itu seperti yang diberitakan oleh penulis China di zaman Dinasti Sung. Alasan-alasan yang disebutkan terakhir pada dasarnya telah merobah kerangka analisis yang tidak lagi pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 akan tetapi semenjak kelahiran agama Islam itu sendiri (abad ke 7 M).

Pemikiran-pemikiran yang berkembang pada seminar ini disamping menggunakan sumber-sumber arkeologis dan berita-berita Cina juga tidak sedikit menggunakan sumber-sumber Arab sendiri, terutama yang menyangkut tentang pelayaran dagang Arab di wilayah kepulauan Nusantara serta hubungan-hubungan diplomatik antara kekhalifahan Islam masa-masa awal dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Cina pada abad-abad awal Hijriah (7-10 M).

Meskipun hasil seminar yang disebutkan telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan sejarawan, namun setidaknya kesimpulan yang telah dihasilkan itu merupakan tesis akhir yang perlu untuk dipertimbangkan bagi kajian-kajian selanjutnya tentang sejarah Islam di Indonesia. Sikap kontra terhadap hasil seminar ini ditunjukkan oleh sebahagian ilmuwan yang meragukan otoritas kesejarahan yang dimiliki oleh peserta-peserta seminar pada waktu itu tanpa mempertimbangkan otoritas keilmuan serta kredibilitas sumber-sumber yang mereka gunakan. Sebahagian besar dari mereka memang tidak terdidik secara khusus dalam lapangan sejarah, akan tetapi tingkat akurasi dari pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mereka mencerminkan kesungguhan mereka dalam mencari objektifitas sejarah.

Sejalan dengan hasil seminar ini, Naquib Al Attas mengemukakan bahwa sangatlah tidak beralasan untuk mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dengan hanya mengandalkan penemuan epigrafis (nisan makam) saja. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari Arab dan Persia. Ini dibuktikan dengan kenyataan literatur-literatur Islam-Melayu serta konsep-konsep istilah yang digunakan dalam literatur-literatur tersebut serta pengarang-pengarang muslim dalam literaur Melayu-Islam yang ternyata tidak berasal dari India, akan tetapi lebih banyak dari Arab dan Persia, bahkan sebagian kecil dari Turki dan Maghrib (cf. Al Attas, 1969; 1-25).

Apa yang dikemukakan oleh Al Attas pada dasarnya lebih menitik beratkan pada persoalan yang menyangkut dengan daerah asal semata berdasarkan analisa persamaan literatur. Akan tetapi patokan kronologis analisisnya tetap berpijak pada argumentasi sarjana-sarjana Belanda seperti yang disebutkan pada bahagian terdahulu. Al-Attas menjadikan literatur-literatur Melayu abad ke 16 dan 17 menjadi dasar bagi analisisnya. Literatur-literatur Melayu yang dimaksud tentunya adalah literatur yang banyak dihasilkan oleh tokoh-tokoh sufi Melayu Aceh pada abad tersebut.
Dasar analisis seperti yang digunakan oleh Al Attas adalah salah satu contoh pemanutan terhadap tesis yang diajukan oleh sarjana-sarjana Belanda. Meskipun tesis itu kemudian menimbulkan perdebatan-perdebatan dengan munculnya tesis-tesis baru, namun yang sangat mengherankan bahwa dasar analisis kronologis yang berpatokan sekitar abad ke 13 seperti yang dikemukakan oleh sarjana Belanda itu, tetap dijadikan pegangan.

Apa yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah satu aspek dari persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan tentang Islam di Indonesia dalam kajian sejarahnya. Persoalan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan waktu, proses, golongan pembawa dan masalah konversi yang berlaku di Nusantara pada waktu itu. Namun pada bahagian ini apa yang perlu kita kemukakan ialah bahwa selain masalah subyektifitas, pandangan kesejarahan konvensional juga ternyata lebih banyak mempengaruhi sementara penulis sejarah. Disadari atau tidak, peristiwa kemanusiaan pada masa lalu sering dilihat dengan pendekatan politik/kekuasaan, tentunya politik/kekuasaan yang bukan dalam pengertian power, tetapi dalam pengertian state atau nation . Kecenderungan analisa sejarah seperti ini telah diperpegangi dalam melihat keberadaan Islam di Nusantara, seperti dasar analisis bahwa Islam di Nusantara barulah eksis pada saat Islam disini sudah berujud sebagai kekuatan politik (semenjak adanya kerajaan Islam pertama di Nusantara). Pada titik inilah kajian-kajian tentang proses islamisasi dan konversi sering ditempatkan, sehingga kajian-kajian tersebut terlihat 'memihak' pada satu sisi pandang yang seperti telah di"pola"kan oleh sarjana-sarjana yang kita sebutkan terdahulu itu.

Seminar- Aceh dan Medan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah mencoba meninjau kembali sisi pandang itu dengan merobah kerangka waktu analisisnya pada abad ke tujuh Masehi, yaitu pada saat mana proses islamisasi dan konversi Islam di nusantara masih belum merupakan suatu sistem kekuasaan . Namun hasil seminar ini masih saja dipandang "sebelah mata" oleh sementara sejarawan kita.

Persoalan Waktu

Suatu hal yang sering kurang disadari adalah bahwa kesimpulan yang diambil dalam menetapkan daerah asal adalah saling terkait dengan persoalan waktu (sebagai patokan kronologisnya) demikianpun dengan terminologi dan pendekatan yang digunakan. Manakala kita sependapat tentang peranan perdagangan dalam proses pengislaman masyarakat nusantara, maka patokan kronologis itu tentulah sangat luas, tidak hanya pada abad ke 13, akan tetapi meliputi rentang waktu semenjak efektifnya kegiatan pelayaran dagang di jalur-jalur perdagangan Nusantara. Dan ini diperkirakan sudah berlangsung bahkan semenjak abad pertama Masehi. Karena itulah Seminar Medan dan Aceh seperti yang disebutkan terdahulu, lebih banyak mengemukakan analisis dalam kerangka waktu abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke 7 Masehi) untuk mendapatkan fakta tentang konversi Islam di nusantara.

Dalam melihat proses islamisasi di nusantara, selama ini para sejarawan lebih banyak terpaku pada penemuan arkeologis. Nisan makam Maulana Malik al-Shaleh yang berangka tahun 1297 M. seperti yang telah disebutkan terdahulu, dijadikan sumber primer"terkuat" sebagai rujukan dalam menggunakan terminologi masuknya Islam ke Nusantara. Pada hal bukti arkeologis itu secara jelas mengisyaratkan bahwa pada waktu itu, sebetulnya Islam sudah eksis di nusantara sebagai suatu sistem kekuasaan. Lazimnya terbentuknya suatu sistem kekuasaan Islam akan terbentuk manalaka sudah didahului dengan adanya komunitas-komunitas muslim di wilayah itu jauh sebelum angka tahun yang tertera pada nisan tersebut. Aspek fungsional nisan ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa Islam pada saat itu sudah merupakan suatu kekuatan politik, dan sementara itu kitapun sangat tidak meragukan pula bahwa kedatangan Islam ke nusantara tidak dibawa oleh golongan bangsawan (penguasa) dan proses konversinya berlangsung secara damai. Maka dengan demikian seyogianya dapat dipastikan bahwa sangatlah keliru menggunakan bukti arkeologis ini sebagai patokan waktu masuknya Islam ke nusantara atau dengan kata lain proses konversi awal terhadap Islam tidaklah berarti baru berlangsung setelah Islam berwujud sebagai kekuatan politik.

Terminologi masuknya Islam ke Nusantara sering tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan dari sementara sejarawan dan sering dikacaukan dengan pengertian berkembangnya Islam itu sendiri. Karena bukti arkeologis semacam itu tentunya merupakan bukti bahwa pada waktu itu Islam di nusantara sedang mengalami perkembangan yang pesat, karena, disamping sudah berwujud kekuatan politik, proses penye-barannyapun sudah semakin intensif, tetapi bukan sebagai bukti bahwa pada saat itu proses konversi Islam baru mulai berlangsung. Adalah sangat naif bila terminologi masuknya Islam dalam pengertian konversi di sini, dilandaskan pada bukti tertulis yang ada itu.

Sementara ini kesimpulan yang diambil dari perdebatan-perdebatan tentang persoalan waktu masuknya Islam ke Nusantara sudah mulai agak longgar, namun masih saja terasa belum tuntas. Ada yang menyimpulkan bahwa Islam masuk ke nusantara abad ke 11 M, dan --berdasarkan berbagai analisa-- bahkan ada yang berkesimpulan pada abad ke 9 M. demikianpun juga dengan abad ke 7 M. Sementara itu ada yang secara "bijak" mengatakan bahwa Islam sudah masuk sebelum abad ke 13 dan baru berkembang dengan pesat pada abad ke 13 M. tanpa memberi penjelasan yang memuaskan tentang waktu masuknya. Bahkan ada pula pernyataan yang dapat dianggap belum merupakan kesimpulan, yaitu asumsi bahwa pernyataan masuknya Islam abad ke 7 M. adalah kemungkinan semata. Namun demikian agaknya masalah terminologi kata masuk dalam pengertian konversi di sini sudah mulai disadari, hanya saja belum terlihat adanya studi yang serius untuk mendapatkan fakta kuat terhadap kerangka kronologis yang disebutkannya itu.

© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc


Selengkapnya...

Membuat Bangsa Melek Sejarah

Menarik sekaligus menyengat membaca tulisan Y. Herman Ibrahim berjudul, “Kezaliman Dalam Penulisan Sejarah Islam“, yang dimuat harian Pikiran Rakyat, Rabu (18/2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 556, 1135), zalim yang merupakan akar kata kezaliman memiliki arti yang sama dengan lalim, sehingga kezaliman identik dengan kelaliman. Kelaliman berarti kebengisan, kekejaman, dan ketidakadilan. Dengan pengertian seperti itu, maka jelaslah tulisan Bung Herman Ibrahim menjadi penting ditanggapi, terlebih manakala menyinggung tentang eksistensi ilmu sejarah dan komunitas sejarawan.

Bila dicermati dengan baik, setidaknya ada empat hal penting yang menjadi substansi tulisan Bung Herman Ibrahim. Pertama, tudingan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang paling tidak ilmiah. Kedua, menggugat tentang kezaliman dalam penulisan sejarah nasional yang tidak memberikan tempat semestinya kepada Islam, bahkan dipandang Bung Herman Ibrahim sebagai anti dan menegasikan Islam. Ketiga, tudingan bahwa metodologi sejarah sarat kepentingan kekuasaan. Keempat bahwa ilmuwan sejarah bisu atau membisukan diri atas penulisan sejarah, yang tidak berpihak kepada kebenaran.
Tudingan bahwa ilmu sejarah merupakan ilmu yang paling tidak ilmiah lahir dari vonis, didasarkan atas tiga konsepsi Bung Herman Ibrahim tentang parameter ilmiah yakni, objektif, proses, atau hasilnya harus terukur secara kualitatif maupun kuantitatif, dan kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris atau paling tidak secara laboratoris. Parameter Bung Herman Ibrahim tentang konsep ilmiah, sebenarnya sangat menantang untuk diperdebatkan dan digugat, terutama bila didekati dari ranah filsafat. Namun, karena keterbatasan ruang, satu komentar singkat perlu dikemukakan bahwa parameter tersebut terlalu sederhana, untuk tidak mengatakan terlalu tendensius, sehingga bila itu diterima sebagai satu ukuran untuk menyatakan sesuatu ilmiah atau tidak ilmiah, akan banyak ilmu lain yang nasibnya sama atau bahkan lebih tragis dari ilmu sejarah. Bisa jadi, satu di antaranya ilmu yang digeluti Bung Herman Ibrahim. Konsekuensinya, Bung Herman Ibrahim, mau tidak mau, harus berapologi pula dengan ilmuwan di luar ilmu sejarah.

Rekonstruksi Sejarah

Di dalam ilmu sejarah dikenal adanya dua konstruk. Pertama, sejarah dalam arti objektif atau sebagai peristiwa. Kedua, sejarah dalam arti subjektif atau sebagai satu kisah. Konstruk pertama, dengan demikian merupakan peristiwa sejarah itu sendiri. Konstruk kedua adalah sejarah sebagai satu hasil rekonstruksi atas peristiwa yang telah atau pernah terjadi.

Satu peristiwa sejarah baru dapat direkonstruksi, apabila peristiwa tersebut meninggalkan jejak berupa sumber sejarah. Ada empat jenis sumber sejarah, tulisan, lisan, benda, dan sumber visual. Tanpa adanya sumber sejarah, mustahil satu sumber sejarah dapat direkonstruksi. Dengan demikian, satu rekonstruksi sejarah haruslah selalu didasarkan atas sumber-sumber sejarah. Tidak ada sejarah yang didasarkan atas alkisah, konon, atau katanya. “The historian works with documents…There is non substitute for documents: no documents, no history”, begitu ujar Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos.

Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, ada empat tahapan kerja yang perlu dilalui sejarawan, yakni tahapan heuristik atau pengumpulan sumber. Kedua, tahapan kritik atau seleksi sumber. Ketiga, tahapan interpretasi atau penafsiran fakta sejarah. Keempat, tahapan historiografi atau penulisan sejarah.

Jelaslah bahwa setiap rekonstruksi sejarah atau bangunan kisah sejarah, akan selalu memuat unsur-unsur subjektivitas penulis. Subjektivitas dalam penulisan sejarah, bisa diakibatkan sikap berat sebelah pribadi, prasangka kelompok, ataupun penggunaan teori, dan pendekatan yang berbeda. Untuk meminimalisasi timbulnya subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu melakukan distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat mendekati seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki metodologi yang di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan pendekatan dari ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa didekati dari sosial, politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi informasi, dan sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau multidisplin.

Mencermati ketatnya alur bagi satu rekonstruksi sejarah, jelaslah apa yang dilihat Bung Herman Ibrahim sebagai kezaliman sejarah nasional terhadap Islam pada dasarnya tidaklah tepat. Penulisan (peran) Islam dalam sejarah nasional hingga saat ini, masih terus berproses dan bila diperhatikan dengan seksama justru memperlihatkan perkembangan yang semakin menggembirakan. Bahkan, bila cerdas membaca sejarah nasional, akan tampaklah bahwa pentas sejarah nasional Indonesia sesungguhnya adalah pentas sejarah Islam Indonesia. Masalah belum utuhnya rekonstruksi sejarah tentang Islam di Indonesia, termasuk contoh-contoh yang diangkat Bung Herman Ibrahim sebagai kezaliman, semata-mata lebih diakibatkan keterbatasan sumber sejarah yang dapat digunakan sebagai bahan dasar rekonstruksi. Selama sumber sejarah tersedia, sangat terbuka kemungkinan dilakukan rekonstruksi atas peristiwa sejarah. Satu peristiwa yang telah menjadi kisah sejarah, baik yang telah tampak utuh dan terlebih yang belum utuh, sangat mungkin berubah konstruksinya apabila ditemukan sumber baru tentang peristiwa tersebut.

Entah sumber apa yang digunakan Bung Herman Ibrahim sehingga menyatakan bahwa usia Sarekat Dagang Islam (SDI) 25 tahun lebih tua dari Boedi Oetomo. Sejauh yang penulis ketahui, berdasarkan sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, SDI didirikan Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Jadi, kurang lebih tiga tahun sebelum berdirinya BU dan bukannya 25 tahun. Kehati-hatian seperti inilah yang harus dimiliki dalam memahami, membaca, dan menggunakan sumber sejarah.

Upaya membangun sejarah nasional bisa merekonstruksi secara lengkap berbagai peristiwa, yang terjadi di tanah air dan sekaligus mewakili semua aspirasi masyarakat Indonesia. Yang demikian kompleks tentu bukan hal yang mudah. Secara metodologis pun, rekonstruksi sejarah dibangun atas sumber sejarah yang sama bisa jadi akan tampil dengan postur yang berbeda. Jadi, kalaulah terjadi perbedaan kontruksi atau bangunan sejarah atas satu peristiwa sejarah, bukanlah karena metodologinya sarat akan kepentingan kekuasaan tetapi besar kemungkinan adanya pendekatan berbeda dalam merekonstruksi peristiwa sejarah. Tampilan konstruksi yang berbeda dari suatu peristiwa sejarah, sah-sah saja selama rekonstruksi tersebut didasarkan atas sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bangunan sejarah nasional bisa dipastikan, senantiasa mengalami pengayaan dan pengembangan seiring dengan ketersediaan dan penemuan sumber sebagai bahan dasar rekonstruksi. Pada ranah akademik, riset-riset yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi memiliki Jurusan Sejarah, tentunya pula secara aktif terus dilakukan para sejarawan. Substansi produk riset tidak saja berupa konstruksi kisah sejarah atas berbagai peristiwa yang belum terungkap, baik lokal maupun nasional, tetapi tidak sedikit yang berupa pengkajian kembali atas berbagai peristiwa sejarah telah direkonstruksi tetapi masih menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan. Dari kenyataan tersebut, yakinlah bahwa sejarawan tidak bisu atau membisukan diri atas kebenaran sejarah. Para sejarawan terus bekerja dan berupaya menampilkan rekonstruksi sejarah yang utuh.

Realitas amnesia sejarah yang kini menghinggapi bangsa besar ini, tidak terkecuali para pemimpinnya, menjadikan perjuangan para sejarawan untuk membuat bangsa ini melek sejarah menjadi semakin terjal dan berliku. Untuk itu, agar dapat memahami dengan baik postur ilmu sejarah dan atmosfir yang berkembang di kalangan sejarawan, ada baiknya Bung Herman Ibrahim memperbanyak interaksi dengan sejarawan dan karya-karya sejarawan. Sudah banyak buku yang dihasilkan, sudah banyak peristiwa sejarah yang berhasil direkonstruksi, dan tentunya sudah banyak peristiwa sejarah yang dikaji kembali sebagai akibat ditemukannya sumber-sumber baru. Dengan cara itu, mudah-mudahan Bung Herman Ibrahim tidak lagi bersikap lalim terhadap ilmu sejarah dan para sejarawan. Apa pun, Bung Herman Ibrahim, terima kasih atas cemetinya. Terima kasih pula atas kecintaannya terhadap sejarah. Salam!

© Reiza D. Dienaputra
http://bandungoralhistory.or)

Selengkapnya...

Perspektif Global dalam Penulisan Sejarah

Sabtu, 30 Mei 2009

Telah jelas perkembangan kondisi sosial-ekonomi-politik-budaya di suatu region tidak dapat dilepaskan dari "kekuatan" global yang membentuknya. Sebagai sejarawan kita tentu memahami hal tersebut. Tidak selalu hal global yang datang tersebut berwujud persis sama pada region tujuan. Dapat saja sesuatu yang hadir dari region tertentu, masuk ke region lain memiliki bentukan baru/berbeda. "Kekuatan" global yang betul-betul significant dalam proses pengglobalan dirinya adalah kapital finans (finance capital). Penulisan sejarah Indonesia jaman kolonial telah membuktikan gerak kapital finans global ini, melalui studi-studi berpendekatan ekonomi-politik. Menjadi cukup jelas bagi kita bahwa Negara [Kolonial] Hindia-Belanda diabdikan untuk kepentingan kapital finans global yang berasal dari negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika Serikat, misalnya.

Disebabkan oleh dinamika internal di sebuah region tidak dapat dipisahkan dari kapital finans global maka di setiap penulisan dan analisis persoalan-persoalan mikro, diperlukan perspektif global sebagai basis analisisnya. Kapital finans global telah membentuk social formation kapitalis di region Indonesia. Sesuatu yang "enggan" untuk diperdebatkan namun berlangsung sampai sekarang. Hal ini pula yang menyebabkan Indonesia menghadapi krisis kapitalisme-global-yang berkepanjangan.

Penulisan sejarah Indonesia pasca kolonial mengalami kemacetan dalam penggunaan perpektif global. Hal ini disebabkan perhatian para sejarawan-yang kiprahnya seharusnya muncul maksimal-terhalangi oleh berlangsungnya rejim otoriter-militer Orde Baru. Rejim ini telah menggeser sejarah dari ilmu menjadi dongeng semata. Jadilah sejarah kehilangan greget keilmuannya. Banyak sejarawan yang kemudian terlibat menjadi juru dongeng. 32 tahun Orde Baru telah mematikan penulisan sejarah Indonesia. Padahal perkembangan kapitalisme begitu cepat. Saat ini kapital finans global menuntut globalisasi. Sesuatu yang berarti: bukakan pasar seluas-luasnya untuk barang-barang over-produksi dari negeri mereka; hapuskan tarif agar penduduk lokal mampu membeli barang-barang mereka.

Pemerintah Indonesia dalam posisi meloloskan seluruh permintaan kapital finans tersebut. Plus BUMN-BUMN dijual ke kapital finans. Di sini, sebetulnya, kolonialisme berlangsung kembali. Kapital finans berkuasa atas "negara" Indonesia. Artinya, pemerintah nasional dan lokal diposisikan sebagai administratur kepentingan kapital finans global. Fenomena Negara [Kolonial] Hindia-Belanda berulang dalam konstruksi Indonesia Merdeka.

Sudah saatnya sejarawan Indonesia bangkit. Kembalikan kemampuan menggali fakta, mempertajam kemampuan menganalisis; tunjukkan bahwa sejarawan Indonesia dapat sejajar dengan sejarawan negeri lain.

© Edi Cahyono
Sumber : http://www.geocities.com/edicahy/essays/perspektif.html


Selengkapnya...

Strukturisme Historis

Rabu, 27 Mei 2009

Berkembangnya studi-studi sosial di Eropa abad ke-17 ditandai dengan munculnya berbagai analisis terhadap fenomena kemanusiaan seperti sosial, ekonomi dan politik. Keadaan ini menyadarkan para ilmuan bahwa kontribusi analisis-analisis sosial itu telah menawarkan peluang dan jalan baru bagi sejarah untuk memasuki kordinat disiplin ilmu yang nyaris setara dengan ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan antara ilmu sosial dan sejarah terletak pada realitas sosial yang menjadi obyek pengamatannya dan, dalam beberapa bahagian, studi-studi terhadap struktur sosial dan ekonomi ternyata lebih memperlihatkan kecendrungan historis meski menggunakan analisis-analisis struktural. Munculnya tokoh-tokoh sejarawan struktural dari kalangan sosiolog seperti Aguste Comte, Karl Marx, Engels, Spencer, Braudel dan lain-lain, telah mencerminkan perkembangan baru dalam lapangan ilmu kemanusiaan ini. Beberapa temuan teoritis telah banyak dihasilkan, akan tetapi tidak sedikit juga mengundang berbagai perdebatan ilmiah dengan munculnya sintesis-sintesis baru dalam sejarah sosial terutama menyangkut dengan model analisis yang digunakan.

Hal yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan sejarawan sosial berkaitan dengan persoalan perubahan sosial ialah perbedaan ide tentang fungsi atau struktur pada satu sisi dan ide tentang peranan manusia selaku aktor pada sisi lainnya dan antara tinjauan kebudayaan sebagai supra struktur belaka dan kebudayaan sebagai suatu kekuatan yang aktif dalam sejarah, demikian juga perbedaan pandangan yang menyangkut analisis-analisis yang diperlukan untuk menjelaskan perubahan sosial itu secara teoritis dan metodologis.

Munculnya pendekatan strukturis pada tahun 1980an adalah merupakan fenomena baru dalam lapangan metodologi sejarah dan memberi jawaban terhadap berbagai kendala teoritis dan metodologis yang masih ditemukan dalam pendekatan struktural yang selama ini banyak dianut. Christopher Lloyd, seorang sejarawan ekonomi Inggeris, telah memformulasikan beberapa temuan penelitian yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan seperti Cliffort Geertz, Emmanuel Le Roy Ladurie, Charles Tilly dan lain-lain serta mengemasnya menjadi suatu pendekatan baru yang ia namakan dengan pendekatan "Strukturis" yang secara ontologis didasarkan pada aliran filsafat Realisme.

Tulisan ini akan mengemukakan tentang perbedaan-perbedaan pandangan yang berkembang dikalangan sejarawan sosial terutama menyangkut perbedaan pendekatan strukturalisme dan strukturisme dalam mengamati realitas sosial, struktur sosial, perubahan struktur sosial serta masalah eksplanasi terhadap perubahan sosial itu sendiri.

Konsep tentang Masyarakat , Struktur dan Peristiwa.

Sejauh ini masalah yang menjadi tema diskusi-diskusi di kalangan sejarawan sosial adalah persoalan konsepsi tentang masyarakat, struktur-struktur dan peristiwa yang terdapat di dalamnya. Berbagai konsep telah dikemukakan seputar masalah ini. Konsep awal tentang ini telah ditunjukkan oleh kalangan strukturalis yang mengkonsepsikan masyarakat sebagai suatu kesatuan sendiri dan tidak hanya sekedar kolektifitas individu. Masyarakat memiliki struktur-struktur yang terdiri dari kesatuan-kesatuan dan properti-properti social yang hubungan antar struktur itu bersifat ketat (tighly structured) dan penjelasannya harus berkaitan dengan hubungan fungsional yang diduga dengan sistem sosial yang holistik.

Analisis yang dilakukan oleh kalangan strukturalis diarahkan pada struktur social yang lebih menekankan pada aspek keumuman serta menempatkan kejadian/peristiwa pada bahagian terpisah dari studi sejarah struktural. Obyek sejarah struktural lebih ditekankan pada analisis terhadap struktur sosial yang dinamis dengan menggunakan generalisasi sebagai kesimpulan teoritis. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, bila suatu realitas sosial diungkapkan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang unik, maka sukar untuk dirumuskan dalam bentuk generalisasi.

Sementara itu kalangan strukturis mengkonsepsikan masyarakat sebagai satu kesatuan yang memiliki struktur yang digabungkan secara longgar (losely structured). Ia merupakan kumpulan relasi-relasi, peraturan-peraturan dan peran-peran yang selalu berubah dan mengikat kolektifitas individu melalui organisasi, ciri-ciri dan kekuatan sendiri yang muncul dari aksi-aksi, keperibadian dan alasan-alasan kolektiv dari individu untuk menjaga kelangsungan struktur (reproduksi) atau untuk melakukan perubahan-perubahan (transformasi). Masyarakat, menurut pandangan strukturisme, merupakan teori umum yang mutlak historik, karena struktur kelembagaan sosial adalah merupakan hasil dari individu secara kolektif. Ini menunjukkan proses dialektis di mana struktur, sistem peraturan, peranan, relasi-relasi dan arti yang dilembagakan dapat diproduksi dan ditransformasi melalui fikiran manusia dalam suatu waktu. Struktur, menurut pandangan strukturis adalah sebagai sistem peraturan sosial, peranan, relasi-relasi dan simbol-simbol di mana peristiwa, tindakan dan fikiran berlangsung (Lloyd, 1993) Karena itu kalangan Strukturis menempatkan struktur dan peristiwa pada bahagian yang sama dalam analisis sejarahnya.

Analisis terhadap Perubahan Struktur Sosial

Seperti telah dikemukakan bahwa pendekatan struktural mengkonsepsikan masyarakat sebagai mempunyai struktur yang ketat. Perubahan sosial (tepatnya perubahan struktur sosial), menurut mereka, tidak akan terjadi oleh unsur-unsur internal struktur itu sendiri, akan tetapi disebabkan oleh masuknya unsur-unsur asing yang menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada struktur yang mendahuluinya, sehingga struktur-struktur itu menjadi tidak berperan menurut semestinya. Karena itu muncul peran-peran (struktur) baru untuk memulihkan ketidakseimbangan itu. Pendekatan Fungsional-Struktural yang mengacu pada pandangan Talcott Parsons ini menekankan bahwa sumber-sumber (unsur-unsur) baru sangat memungkinkan terciptanya tingkatan baru diferensiasi struktural. Unsur baru itu merupakan sumber penting bagi perubahan dan perkembangan orientasi nilai baru yang dapat menciptakan sistem kontrol utama di mana perubahan dapat melembaga. Karenanya analisis terhadap perubahan sosial, bagi sejarawan struktural, lebih ditekankan pada aspek ketidakseimbangan struktural dan ketegangan antara unsur-unsur normatif dan struktural dari setiap sistem sosial.

Kalangan strukturisme memandang perubahan struktur sosial disebabkan oleh unsur-unsur internal masyarakat itu sendiri, yaitu interaksi antara individu dengan struktur sosial. Struktur menurut aliran ini memiliki potensi "menentukan" (constraining) sedangkan individu atau kelompok dari suatu struktur sosial (dalam hal ini disebut dengan : agency) memiliki potensi "mengubah" (enabling). Interaksi struktur yang constraining dengan agency yang enabling inilah yang mendasari analisis strukturis untuk menemukan causal factor dari suatu perubahan sosial.

Gagasan peragenan (agency) merupakan tema pokok dari pembahasan strukturis. Konsep agency menurut metodologi strukturis berbeda dengan konsep individualis tentang orang dan tindakan, demikianpun dengan konsep struktural-fungsional yang menekankan pada determinisme struktural semata dan mengabaikan peran individu. Agency dalam konsep strukturis adalah merupakan individu atau kelompok yang dianggap memiliki kekuatan otonom dari suatu struktur sosial (Leirissa,1999,51) untuk melakukan perubahan dan reproduksi sosial. Kemampuan mengubah dari agency tidaklah dengan sendirinya, namun mengacu pada struktur serta lingkungan budaya (mentalite). Yang disebutkan terakhir ini diakui pula sebagai ikut menentukan perubahan itu. Oleh karenanya analisis strukturis menekankan pada interaksi aktif antara agen, struktur dan mentalitas (kebudayaan). Dengan demikian, pendekatan strukturisme dalam sejarah mensyaratkan bahwa deskripsi sejarah sosial tidak hanya menuntut penjelasan analitis semata seperti yang dituntut oleh pendekatan strukturalisme yang holistik, akan tetapi juga deskripsi-naratif dan interpretatif atau dengan kata lain sejarah sosial disamping mengharuskan analisis struktural di tingkat makro untuk memahami perubahan sosial, juga tanpa mengabaikan tataran mikro yaitu aspek keunikan peristiwa (event) yang terjadi pada struktur sosial itu sendiri.

Akses Epistemologis Strukturisme

Bahagian yang esensial dari suatu analisis ilmiah terletak pada kebenaran (baca : obyektifitas) pengetahuan yang dihasilkan melalui eksplanasi-eksplanasi yang teruji secara teoritis. Hal itu sangat ditentukan oleh akses epistemologi, seperti yang telah ditunjukkan oleh ilmu-ilmu alam. Masalah eksplanasi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti ilmu sosial dan sejarah selalu menjadi perbincangan yang serius dikalangan teoritisi, oleh karena kebenaran faktual yang dihasilkannya berbeda dengan ilmu alam.

Pada dasarnya perbedaan ini secara ontologis bersumber dari perbedaan realitas yang diamati, sehingga menuntut prosedur penalaran yang berbeda pula. Ilmu-ilmu alam dengan obyek benda alam yang nomotetis dan ilmu kemanusiaan dengan obyek manusia yang ideografis dibedakan berdasarkan kaidah penalaran masing-masing dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip epistimologinya dalam memperoleh kebenaran ilmiah.

Perpaduan antara ilmu sosial dan ilmu sejarah telah menghasilkan sejarah sosial dengan metodologi eksplanasi yang mengagumkan. Baik aliran struktural yang holistik maupun aliran struktural-fungsional, telah mencoba menunjukkan keandalan metodologinya dalam menghasilkan eksplanasi-eksplanasi struktural. Analisis perubahan struktur sosial menurut kalangan holisme - seperti juga analisis terhadap perubahan dalam struktur ilmu alam - dapat ditunjukkan melalui hukum-hukum umum dengan prinsip-prinsip universalisme. Sementara itu, aliran struktural fungsional menganggap bahwa analisis tentang fungsi sebagai konsep kunci dalam teori sosial dan menekankan pada faktor keseimbangan sebagai asumsi dasar yang melandasi analisisnya terhadap perubahan struktur sosial. Kedua aliran di atas, seperti halnya juga aliran strukturis, pada dasarnya bertolak dari pemahaman terhadap struktur sosial yang memiliki kenyataan yang sebenarnya tidak dapat diamati (unobservable). Oleh karena itu, dalam memberikan penjelasan (eksplanasi) biasanya hanya terbatas pada kausalitas teoritis semata dan tidak mampu menunjukkan pembuktian yang eksperimental. Pada bahagian inilah justru terlihat perbedaan mendasar antara analisis ilmu alam dengan analisis ilmu sosial dan sejarah yang sekaligus menjadi kendala teoritis yang sering menimbulkan kecurigaan akan kebenaran ilmiah dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah.

Munculnya pendekatan strukturis (metodologi strukturisme) ini telah menawarkan metodologi alternatif bagi kendala dimaksud, dengan menerapkan struktur penalaran (structure of reasoning) yang digunakan oleh ilmu alam terhadap ilmu sosial dan sejarah. Menurut pendekatan ini, penalaran ilmu sosial harus memiliki struktur yang mirip dengan ilmu alam (cf. Lloyd, 1993) sehingga eksplanasi kausalitasnya juga dapat menghasilkan kebenaran yang berkorespondensi dengan kenyataan yang diamati, meskipun untuk itu diperlukan modifikasi terhadap beberapa aspek metodologi, karena adanya perbedaan mendasar secara ontologis antara kedua ilmu dimaksud. Akses epistemologi yang membedakan antara ilmu alam dengan ilmu sosial dan ilmu sejarah adalah terletak pada penjelasan sebab akibat pada struktur-struktur umum dari struktur sosial yang berkesinambungan dan struktur budaya serta prilaku-prilaku individu dalam variasi ruang dan waktu yang harus mendapat pertimbangan dalam analisis ilmu sosial dan sejarah. Analisis pada faktor-faktor yang disebutkan terakhir itulah yang justru telah diabaikan oleh pendekatan sejarah struktural.

Disamping itu, pendekatan (metodologi) strukturisme yang didasarkan pada filsafat realis ini mencoba untuk menempatkan agency,--dalam kapasitasnya sebagai akumulasi interaksi individu, struktur dan mentalitas--sebagai causal factor dari perubahan sosial. Oleh karena sejarah meneliti masyarakat masa lampau, maka causal factor itu tidak dapat dijelaskan dengan eksperimen seperti yang berlaku dalam ilmu alam, akan tetapi melalui intensi yang terekspresikan dari sumber-sumber sejarah yang sesungguhnya dapat diamati (observable). Untuk menemukan agency dari suatu perubahan sosial menurut pendekatan strukturis, mengharuskan tidak hanya analisis struktural akan tetapi juga mengandalkan hermeneutika dalam memahami berbagai intensi dari pelaku sejarah. Dengan demikian, munculnya strukturisme historis, telah menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana analisis terhadap perubahan sosial yang selama ini telah berlangsung, namun pendekatan ini belum banyak mendapat perhatian dari kalangan sejarawan, karena masih dominannya pengaruh strukturalisme.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhash.webs.com


Selengkapnya...

Penulisan Sejarah

Senin, 25 Mei 2009

Masa lalu yang diungkapkan -dalam sejarah- disebut historiografi. Bentukan kata historiografi adalah merupakan gabungan dari dua kata Yunani, yang terdiri dari : historia (istoria) dan grafien. Historia pada awalnya berarti : penelitian tentang gejala alam fisik (physical research), sementara grafien berarti gambaran, uraian, pengungkapan atau penulisan. Penggunaan kata historia untuk menunjuk kepada pengertian di atas, sudah lazim terlihat pada khazanah ilmu pengetahuan Yunani kuno. Hecateus (l.k. 500 sM.), misalnya, menggunakan kata ini untuk hasil penyelidikannya tentang gejala-gejala alam yang terjadi di wilayah pinggiran daerah Yunani. Tema pokok dari pembahasan historia lebih ditujukan kepada wilayah-wilayah ethnografi dan lebih utama pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh manusia. Dengan demikian dipahami bahwa kata historia mengacu kepada kajian sistematis yang tidak hanya mempunyai wilayah cakupan tentang alam tetapi juga tentang manusia yang terkait dengan gejala yang telah terjadi itu.

Pengertian istoria pada akhirnya mengalami pergeseran akibat dari telah meluasnya penggunaan kata scientia (latin) yang lebih banyak ditujukan untuk hasil-hasil penelitian gejala alam fisik yang non kronologis. Karena itu kata historia mendapat ketegasan pengertian kepada kajian tentang gejala-gejala kemanusiaan di masa lampau secara kronologis. Gejala-gejala kemanusiaan tentunya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia pada tempat dan waktu tertentu. Dengan demikian objek yang menjadi wilayah bahasan dari kata historia mencakup tiga komponen yaitu: peristiwa, manusia dan masa lalu. Dari istilah ini kemudian dijadikan akar dari kata history (Inggris) yang kemudian diterjemakan menjadi sejarah dalam bahasa Indonesia. Kata grafien berarti pengungkapan, pemaparan, penulisan atau pertelaan. Jadi pengungkapan tentang peristiwa masa lalu manusia secara etimologis disebut dengan historiography (penulisan sejarah).

Untuk terwujudnya suatu penulisan sejarah, para sejarawan telah merumuskan beberapa langkah metode yang harus dilakukan dalam kegiatan penelitian sejarah. Langkah pertama ialah kegiatan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber atau berkas-berkas yang di tinggalkan oleh masa lalu manusia yang dapat dijadikan objek penelitian. Langkah kedua adalah kegiatan kritik, yaitu melakukan pengujian atau penilaian terhadap sumber-sumber yang telah didapatkan itu untuk menentukan mana diantara sumber yang dinyatakan shahih (kredibel). Langkah ketiga adalah sintesis yakni mengklasifikasi sumber-sumber yang dinyatakan kredibel sesuai waktu, tempat dan pokok masalah serta menyusunnya menjadi fakta-fakta untuk kemudian mencari hubungan masing-masing fakta secara analitis dan logis. Sedangkan langkah terakhir adalah penulisan yaitu suatu tahap di mana sejarawan harus mendeskripsikan jaringan-jaringan fakta tersebut menjadi sebuah cerita yang sistematis .

Terwujudnya suatu karya sejarah melalui proses di atas menuntut tidak hanya kesungguhan peneliti dalam mendapatkan sumber, kemudian dengan mengandalkan fakta-fakta yang disusun berdasarkan sumber-sumber itu, tetapi juga lebih dituntut kemampuan untuk menjalin dan memaparkan fakta-fakta itu secara sistematis dan logis, untuk kemudian ia harus menyusun cerita di atas fakta-fakta itu. Dalam mewujudkan cerita sejarah seringkali sejarawan dihadapkan dengan persoalan tidak lengkapnya sumber, oleh karenanya dalam memaparkan cerita sejarah ia harus mampu untuk merangkai dan memberikan “jembatan” yang menghubungkan masing-masing fakta itu dengan memberikan inferensi-inferensi berupa interpretasi terhadap fakta-fakta yang ia buat berdasarkan sumber yang didapatkan, disamping ia harus mampu menemukan hubungan-hubungan “intrinsik” dari setiap fakta yang telah disusunnya. Pada bahagian ini sesungguhnya sejarawan tidak lagi dipandu oleh obyek (sumber), akan tetapi faktor “diri” nya yang lebih banyak memainkan peranan. Keterlibatan faktor “diri” penulis di sini pada dasarnya menjadikan suatu karya sejarah berhadapan dengan persoalan subyektifitas . Unsur lingkungan kebudayaan, situasi sosial, kepribadian dan lain-lain, seringkali ikut mempengaruhinya dalam memaparkan cerita sejarah, terutama dalam memberikan penafsiran (interpretasi) terhadap sumber serta memberikan analisa-analisa logis terhadap fakta dalam bentuk inferensi seperti yang disebutkan terdahulu. Karena itu suatu karya sejarah yang dihasilkan oleh penulis sejarah pada suatu waktu, sekaligus juga adalah merupakan gambaran dari bentuk budaya masyarakat di mana penulis itu hidup.

Konsep Historiografi

Para sejarawan berbeda pendapat tentang konsep historiografi sebagai bahagian dari disiplin ilmu sejarah. Di satu pihak historiografi dipahami sebagai metode sejarah bila diartikan secara etimologi seperti yang dikemukakan terdahulu. Dipihak lain historiografi dihubungkan dengan filsafat sejarah, karena untuk mewujudkan suatu karya sejarah itu senantiasa berurusan dengan masalah subyektifitas dan obyektifitas sebagai juga yang telah tersinggung diatas. Dalam bahagian lain historiografi juga memperlihatkan kecenderungan pengertian sebagai sejarah penulisan sejarah.

Historiografi --baik dihubungkan dengan metode sejarah maupun dengan filsafat sejarah-- sepintas akan sulit untuk dapat dibantah. Karena secara etimologi pengertian penulisan atau pemaparan sejarah akan mengandung pemahaman tentang proses yang dilalui untuk terwujudnya karya sejarah (baca : penulisan sejarah). Suatu proses yang ilmiah akan tidak terlepas kaitannya dengan metode sebagai jalur yang mesti dilalui baik dalam penelitian maupun penulisannya. Maka ‘penulisan’ di sini, lebih dipahami sebagai mencakup hal-hal yang berkaitan dengan seluk-beluk ilmu yang menghasilkannya itu ketimbang sebagai pengungkapan tentang hasil sejarah yang sudah jadi.

Penempatan unsur subyektif yang tak terlepas dari seorang sejarawan dalam memberikan interprestasi terhadap fakta-fakta masa lampau manusia, demikianpun keharusan-keharusan yang tidak dapat tidak dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau dengan kenyataan data yang sangat terbatas, menjadikan pemahaman terhadap penulisan sejarah itu sebagai suatu proses subyektif. Dengan demikian penulisan sejarah (historiografi) itu juga memasuki persoalan-persoalan yang terdapat dalam lapangan filsafat sejarah.

Harry Elmer Barnes dalam bukunya : A History of Historical Writing mengemukakan pengertian historiografi secara lebih lugas, yaitu : a study of historical writing5, suatu kajian terhadap penulisan sejarah. Untuk tidak mengacaukan pengertiannya dengan kritik sejarah, maka kalangan sejarawan modern lainnya lebih mempertajam pengertian tersebut dengan mengemukakan pengertian historiografi sebagai sejarah penulisan sejarah atau sejarah dari sejarah6. Penempatan historiografi sebagai salah satu bidang ilmu sejarah yang sejajar dengan “Comparative History, Historical Monograph, Theoris and Method dan lain-lain7, telah menjadikan konsep historiografi mengacu kepada suatu tentang kajian historis dari penulisan sejarah yang sudah jadi, yang berbeda dengan spesialisasi-spesialisasi yang dibidangi oleh bidang-bidang lain dari disiplin ilmu sejarah.

Tingkat Perkembangan Historiografi

Historiografi (baca : penulisan sejarah), adalah merupakan hasil karya dari historiografer (sejarawan) zamannya yang sekaligus berkaitan erat dengan kebudayaan zaman itu. Dalam pengungkapan suatu peristiwa masa lampau, seorang sejarawan akan senantiasa bertolak dari pandangan yang terlahir dalam lingkungan kebudayaannya. Pertanyaan yang diajukan terhadap masa lampau, setidaknya adalah merupakan pertanyaan yang muncul dari realitas kebudayaan di mana sang sejarawan itu hidup. Dengan demikian corak dan bentuk historiografi yang dihasilkan akan sejalan dengan bentuk kebudayaan masyarakat yang menghasilkan. Suatu masyarakat primitif yang mempunyai kepercayaan serba dewa akan menghasilkan historiografi yang serba dewa pula seperti teogoni dan kosmogoni ; masyarakat Arab pra Islam yang kehidupan mereka nomadden serta mempunyai kesombongan etnis dan genealogis juga menghasilkan historiografi genealogis pula ; mereka menyebutkan dengan : nasab.

Demikian pula perkembangan historiografi akan senantiasa pula ditentukan oleh tingkat historisitas (kesadaran sejarah) yang mereka miliki ; sejauhmana mereka memandang bahwa masa lalu harus diungkap secara benar, untuk apa pengungkapan itu dilakukan dan sebagainya. Perobahan bentuk dan cara pengungkapan, metode, struktur, isi, maupun gaya bahasa dalam suatu historiografi adalah merupakan proses yang bergerak mengikuti tingkat kesadaran historisitas itu.

Menurut tingkat perkembangannya, historiografi dibagi kepada dua priode, yaitu : Tradisional dan Modern.

1. Historiografi Tradisional

Bentuk-bentuk historiografi tradisional adalah merupakan tradisi penuturan dan penulisan yang berkembang di dalam masyarakat yang kehidupan dan kebudayaannya bersahaja. Oleh karenanya dapat juga disebut sebagai historiografi primitif.

Dalam kenyataannya masyarakat tradisional atau primitif telah menghasilkan beberapa bentuk historiografi yang adakalanya tertulis atau dalam bentuk penuturan lisan. Diantara bentuk-bentuk historiografi tradisional itu ialah :

a. Mitos

Bentuk mitos adalah penulisan atau penuturan sejarah yang merupakan penggambaran kenyataan melalui proses emosional dan kepercayaan. Biasanya mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bahagian-bahagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum. Di dalam mitos tidak ada unsur waktu dan tidak ada masalah kronologi . Bentuk ini di Indonesia terlihat seperti pada penulisan

Tambo pada masyarakat Minangkabau dan Babad di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam masyarakat tradisional keterikatan antara manusia dengan kekuatan gaib di luar dirinya sangat erat sekali. Kekuatan tersebut dipercayai sepenuhnya sebagai penentu dan penggerak semua peristiwa-peristiwa individu dan masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan kepercayaan serba dewa. Cara hidup dan kepercayaan seperti ini akan senantiasa terlihat pada penulisan sejarah yang mereka hasilkan. Oleh karenanya dalam masyarakat tradisional banyak dihasilkan sejarah yang bercorak kepercayaan dalam bentuk teogoni dan kosmogoni

b. Genealogis

Bentuk ini merupakan penggambaran sejarah yang melukiskan tentang hubungan individu dengan individu lainnya berdasarkan keturunan (pertalian darah) atau pertautan antara satu generasi dengan generasi yang lain.

Penulisan genealogis biasanya berkembang dalam masyarakat tradisional, terutama yang mempunyai pandangan kesukuan yang sangat besar dan pengungkapannya sering ditujukan sebagai upaya mewujudkan legitimasi atau pengakuan atas seorang individu dan keturunannya di lingkungan masyarakatnya. Contoh yang baik untuk bentuk ini ialah seperti kebiasaan masyarakat Arab pra Islam menuliskan genealogis atau silsilah keturunan mereka, karena tradisi mufakharah (kesombongan) kesukuan itu sangat menonjol dalam kehidupan mereka. Bahkan dalam masyarakat Sumeria di lembah Mesopotamia, juga ditemukan penulisan-penulisan semacam itu. Di Indonesia juga terdapat tradisi yang sama, seperti penulisan silsilah dalam masyarakat Jawa dan masyarakat Minangkabau.

c. Kronik

Bentuk kronik ialah pengisahan sejarah yang telah didasarkan atas kesadaran waktu, yaitu dengan menempatkan urutan peristiwa dalam dimensi waktu tertentu. Bentuk ini setidaknya adalah awal dari sejarah yang berpusat pada tindakan manusia serta sudah memperlihatkan hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan sejarah10. Babad Tanah Jawi dan Serat Jangka Jayabaya dari masyarakat Jawa dan beberapa penulisan sejarah tradisional di Sulawesi Selatan, agaknya adalah merupakan contoh yang baik untuk penulisan kronik di Indonesia.

d. Annal

Annal adalah pemaparan sejarah masa lalu yang telah menempatkan fakta peristiwa dalam konteks waktu tertentu, akan tetapi penulisannya sering kali terbebas dari urutan fakta kronologis. Dalam bentuk ini sudah terlihat adanya jaringan persepsi dan interpretasi penulisnya, malah sudah terdapat pula penempatan gejala (fakta) dalam suatu totalitas yang mencerminkan pandangan masyarakat penganutnya. Annal adalah perkembangan lanjutan dari bentuk kronik, bahkan bentuk ini dianggap merupakan fase transisi antara penulisan epos tradisional dengan historiografi modern. Penulisan sejarah bentuk annal seperti ini terlihat pada penulisan hikayat-hikayat, Sejarah Melayu, dan sebagainya.

2. Historiografi Modern

Penulisan sejarah tradisional seperti telah dikemukakan terdahulu, lebih merupakan bahagian karya sastra ketimbang karya sejarah. Penulisan sejarah di sini lebih banyak mengutamakan kepentingan pesan yang akan disampaikan, oleh karenanya pengungkapan fakta sering tidak mempertimbangkan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta bercampur aduknya antara fakta dengan peristiwa-peristiwa fiktif, magis dan sebagainya.

Penulisan sejarah Yunani dan Romawi di Eropa sebelum abad tengah, seperti Heredotus misalnya dalam mengungkapkan sejarah tentang masyarakat Yunani dan Mesir kuno, masih terdapat campuran yang membingungkan antara fakta dan fiksi. Heredotus yang dianggap oleh bangsa Eropa sebagai bapak sejarah itu menganggap bahwa sejarah hanyalah bertujuan menyampaikan pesan-pesan. Demikian pula Thucydides (460-399 sM) menulis tentang Pelopponnesus, walaupun sedikit lebih kritis dibanding dengan Heredotus, namun ia lebih mengutamakan penulisan sejarah sebagai teladan masa lalu bagi generasi berikutnya. Livyus, seorang Romawi, telah menulis pula tentang sejarah dalam bentuk hagiografi , karena ia lebih mementingkan kebesaran Romawi daripada mengemukakan fakta-fakta yang akurat. Fakta yang ia kemukakan cenderung bersifat apriori serta lebih banyak ditujukan untuk tujuan-tujuan patriotik dan politik.

Memasuki abad pertengahan, penulisan sejarah di Eropa pada umumnya diwarnai hal-hal yang bersifat keagamaan. Sampai abad ke sebelas masehi, penulisan sejarah banyak dipengaruhi oleh pandangan sejarah Agustinus (354-430 M),menurutnya eksistensi benda-benda termasuk manusia diciptakan sesuai dengan jiwa keabadian Tuhan. Di masa ini banyak sekali lahir sejarawan yang mempunyai pandangan sejarah seperti itu, sebagai akibat dominasi gereja seluruh aspek kehidupan manusia pada saat itu. Diantara sejarawan-sejarawan itu ialah : Bede yang Agung (w. 735 M), Otto van Fresing (1110-1158 M), Mathew Paris (w. 1259 M), Joachim van Foire (1145-1102 M), Joinville (1224-1319 M), Froissart (w. 1337 M), dan lain-lain.

Penulisan sejarah di masa abad tengah secara umum mengungkapkan tentang sejarah manusia dan dunia sebagai peralihan dari penulisan sejarah yang bersifat ethnocentris dan regiocentris pada masa tradisional ke penulisan yang cendrung bersifat theocentris. Peralihan corak penulisan sejarah ini pada gilirannya telah melahirkan pandangan sejarah yang filosofis spekulatif, karena sejarawan-sejarawan masa ini tidak dapat melepaskan diri dari pandangan mitis dan keagamaan, sehingga pandangan ini bercampur dengan keharusan bahwa sejarah harus ditulis secara faktual. Dalam penulisan seperti ini sangat sulit sekali dibedakan antara hal-hal yang bersifat profane (duniawy) dengan hal-hal yang bersifat supernatural.

Mulai abad ke 15 orang-orang Eropa mulai bangkit dari keteledoran mereka pada abad tengah. Pada masa ini berbagai upaya dilakukan untuk bebas dari keterikatan gereja yang selama ini mempengaruhi cara berpikir mereka dalam segala lapangan. Di masa ini harakat dan kemampuan berfikir manusia mulai dihargai. Secara berangsur-angsur dilakukan perombakan tatanan kehidupan masyarakat, kebebasan berfikir dan struktur sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Masa ini disebut dengan Renaissance dan Humanisme.

Masa Renaissance dan Humanisme adalah merupakan fase, transisi abad tengah memasuki abad modern. Pada dasarnya aksi kebangkitan ini telah melahirkan berbagai revolusi, seperti Reformasi dan Contra Reformasi dalam lapangan keagamaan dan revolusi Intelektual dengan lahirnya faham Rasionalisme dan masa Pencerahan (Aufklarung).

Revolusi intelektual dari masa Rene Descartes (1596-1650) sampai pada puncaknya di masa Sir Isaac Newton (1642-1727) telah melahirkan banyak pemikiran serta pakar dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Diantara pakar- pakar ini telah mampu menciptakan basis-basis ilmu pengetahuan, tak terkecuali dalam lapangan sejarah. Terciptanya beberapa jenis ilmu khusus, yang pada akhirnya menjadi ilmu bantu sejarah, telah merobah pandangan terhadap sejarah sebagai suatu ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ilmuwan-Ilmuwan zaman Rasionalis yang berperan dalam lapangan ini antara lain : Jean Mabillon (1632-1707), ia telah berjasa melahirkan ilmu Diplomatik. Teori yang ia hasilkan sangat berguna untuk menguji otentisitas dan kredibilitas dokumen sejarah. Ilmu ini akhirnya menjadi ilmu bantu sejarah dalam metode kritik sumber. Dom Bernhard Monfaucon (1655-1741) mengembangkan dasar ilmu Paleografi (ilmu tentang tulisan) dan ilmu Arkeologi (ilmu tentang kepurbakalaan).

Leopold Von Ranke (1795-1886) seorang sejarawan kelahiran Prusia yang hidup di Jerman telah pula merancang formula khusus untuk pengujian sumber sejarah yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kedua formula yang disebut terakhir ini, sesungguhnya, telah digunakan oleh umat Islam di dunia timur beberapa abad sebelumnya, terutama oleh para ahli Hadits yang diterapkan untuk menguji kesahihan sanad (periwayat) Hadits, hingga puncak pengembangan penelitian dan penulisan sejarah oleh Ibnu Khaldun (w.1406 M.).

Dengan terciptanya beberapa formula metodologis ini, sejarah akhirnya menjadi lebih dari sekedar cerita masa lalu, namun suatu pengungkapan kebenaran pengetahuan tentang masa lalu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, sejarah dapat memasuki wilayah epistemologi sebagai suatu disiplin ilmu, sekaligus merupakan awal bagi historiografi memasuki periode modern.

© Irhash A. Shamad


Selengkapnya...