Mentalitas dan Kebudayaan dalam Proses Sosial

Kamis, 11 Juni 2009

Pada tulisan yang lalu telah dikemukakan tentang alternatif analisis yang menjadi kecendrungan akhir beberapa penelitian kontemporer tentang sejarah masyarakat. Analisis mana telah meluaskan ruang-ruang sempit pengkajian tentang perubahan-perubahan sosial. Kehadiran metodologi strukturis yang diperkenalkan pada dasa warsa terkhir telah mencairkan berbagai kekakuan hubungan pendekatan antropologi budaya dan pendekatan sosiologi dalam upaya memperoleh kebenaran atas pengamatan terhadap fenomena manusia. Fenomena mana diyakini memiliki dua sisi yang saling terhubung dan harus menjadi pertimbangan dalam penyelidikannya, yaitu antara struktur sosial sebagai faktor ekstrinsik dan proses mental sebagai faktor intrinsik yang masing-masing memiliki kekuatan pengaturan terhadap prilaku individu dalam kehidupan sosialnya.

Kompleknya hubungan antar struktur dan proses mental dalam fenomena prilaku yang diamati, struktur sosial, dan ekonomi adalah permasalahan dasar untuk kajian sejarah sosial. Para pakar antropologi biasanya tertarik dengan masalah hubungan mentalitas atau kebudayaan dengan masyarakat yang lebih luas. Penonjolan manusia sebagai makhluk budaya merupakan masalah antropologi dan peranan gagasan kebudayaan dalam proses penataan sosial dianggap krusial oleh sejarawan strukturis. Berikut ini akan dikemukakan pembahasan tentang peranan kebudayaan dalam proses sosial sebagai yang menjadi pembahasan Christopher Lloyd dalam bukunya The Structures of History (1993).

Lloyd mengawali tulisannya pada bagian ini dengan mengemukakan sejumlah pertanyaan, yaitu : apa hubungan umum mentalitas atau kebudayaan dengan masyarakat?, adakah hubungan umum ?, apakah dunia mental memegang peranan vital dalam transformasi sosial ?. Dalam rangka membahas pertanyaan-pertanyaan ini, menurutnya, pertama kita harus menjelaskan tentang arti dan konsep dari ide, ideologi, kebudayaan dan mentalitas. Ide biasanya menunjukkan suatu pernyataan umum yang dicatat, dan konsep-konsep eksplisit yang didistribusikan.

Menurut Lloyd, ideologi menunjukkan perenungan (constellation) ide-ide sosio-politik yang menyebutkan pandangan dunia tentang sejarah dan masyarakat yang menjadi pendorong aksi-aksi politik. Studi ideologi merupakan merupakan studi terhadap sistem signifikasi ide yang tidak semua dinyatakan secara eksplisit, karena, menurut para ahli, ideologi bertujuan untuk mencapai asal usul dan peranan politis dari sistem ideasional yang biasanya diambil untuk mencapai efek distorsi terhadap pemahaman sosial. Sedangkan kebudayaan diartikan sebagai konsep yang cakupannya lebih luas daripada dua konsep sebelumnya dan mempunyai beberapa arti yang berkaitan dan tergantung pada perhatian dan latar belakang teoritis pemakainya. Pertama, secara tradisional, konsep ini berarti pernyataan artistik yang lebih formal dari masyarakat dan kelompok. Kedua, meliputi perenungan sistem kepercayaan yang lebih luas, pandangan dunia implisit, bentuk-bentuk pemahaman, ritual dan ekspresi artistik populer. Ketiga, meliputi bentuk-bentuk kehidupan produktif, termasuk alat dan produk-produk material.

Mentalitas adalah istilah yang biasa digunakan secara bergantian dengan arti kebudayaan yang kedua, yaitu : kebudayaan populer dari orang-orang biasa : bagaimana mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka mengekspresikan diri melalui agama, ritual, pakaian, musik dan sebagainya. Singkatnya adalah manifestasi-manifestasi eksternal dari kehidupan mental, suatu tingkat kehidupan yang berkenaan dengan pembentukan perasaan dunia.

Untuk kembali ke pertanyaan tentang peranan kehidupan mental dalam tindakan dan perubahan sosial -menurut pengertian mentalitas- hal itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ekonomi, sosial dan politik ; atau setidaknya, pandangan mereka yang ingin menggunakan abstraksi-abstraksi semacam itu untuk menunjukkan makna penjelasan pentingnya melakukan hal itu. Kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan dapat dirumuskan secara abstrak, akan tetapi apakah abstraksi ini membantu dalam penjelasan?.

Semua bagian kehidupan sosial saling menembus, tetapi dapat dirumuskan secara terpisah. Dalam masyarakat modern barangkali abstraksi-abstraksi ini lebih banyak terlihat dibanding dalam masyarakat tradisional, tetapi mereka tidak menjelaskan tingkat atau bagian-bagian kenyataan struktur riil yang secara radikal terpisah. Ini merupakan salah satu bentuk pembeda utama masyarakat modern. Masyarakat tradisional nampaknya tidak begitu terabstraksi. Dengan kata lain, nampaknya tidak ada hubungan ahistorik umum antara kebudayaan dan struktur sosial. Sekalipun demikian perlu diakui oleh para materialis sejarah bahwa bagian mental memegang peranan vital dalam memotivasi, menyalurkan dan mendominasi agen manusia.

Penolakan untuk menarik pembagian secara tajam antara cabang-cabang yang diduga dari studi sosial dan sejarah dan orientasi antropologis terhadap tindakan dan masyarakat telah hilang dengan metodologi strukturis. Clifford Geertz, misalnya, dianggap sebagai seorang ahli antropologi atau etnologi yang utama meneliti mentalitas kelompok dan masyarakat tertentu, khususnya di Jawa, Bali dan Marokko, tetapi juga dalam masyarakat Barat modern. Tetapi sambil melakukan hal ini, dia juga menyelidiki struktur sosial, politik dan ekonomi dari masyarakat yang dipilih serta memeriksa sejarah-sejarahnya. Robert Darnton telah sangat terpengaruh oleh pemahaman antropologis, termasuk Geertz, saat menelaah mentalitas atau struktur pemahaman dari abad ke 18 Perancis. Emmanuel L Roy Ladurie telah menggunakan perspektif ekonomi, sosial, psikologi, budaya, politik dan geografi dan teori-teori untuk menyelidiki sejarah masyarakat agraris di Perancis dari masa akhir medieval sampai abad ke-19. Ernest Gellner telah menulis secara ekstensif tentang proses timbulnya masyarakat kapitalis modern, kebudayaan dan hubungannya dengan masyarakat tradisional agraris, juga mengenai teori sosial dan sifat masyarakat modern dan kebudayaan. Klaim-klaim serupa tetapi bernuansa cara yang berbeda dapat ditunjukkan dengan karya Nobert Ellias, Barrington More, Philip Abram, Natalie Zemmon Davis, R.S. Neale, Paul Veyne, AlainTouraine, Michel Vovelle dal lain-lain.

Tidak jelas bahwa kaum strukturis putatif semacam itu sering merupakan pakar antropologi atau sangat terpengaruh oleh antropologi. Mereka melihat bahwa proses penataan sosial yang menimbulkan struktur pervasif hubungan material, sosial dan mental yang mengaitkan sejumlah besar orang bersama-sama ke dalam masyarakat ekstensif dan/atau kekuasaan mempunyai asal usulnya dalam kepercayaan, ritual, dan ideologi rakyat. Antropologi sebagai modus pikiran dan penyelidikan telah menjadi paling lengkap, halus dan maju dalam ilmu sosial. Barangkali ini karena pertemuan ekstensif dengan masyarakat asing, kepercayaan dan bentuk-bentuk pemahaman dan kebutuhan pengembangan cara-cara memufakatkan rasionalisme ilmiah barat dengan bentuk-bentuk non ilmiah tradisional mengenai penjelasan dan pemahaman.

Pada dekade baru-baru ini pakar antropologi telah memperluas lingkupnya untuk menyelidiki masyarakat dan kebudayaan barat sekarang ini dan menganggapnya juga sebagai masyarakat yang menghendaki interpretasi dan analisis yang kaya di luar pendekatan sosiologi dan ekonomi yang lebih tradisional.

Kesalahan yang mempersamakan secara sederhana bahwa tradisional sama dengan antropologi dan modern sama dengan sosiologi dalam ilmu sosial telah menimbulkan pertanyaan tentang obyek penyelidikan antropologis yang layak. Menurut pengertian yang paling luas ini berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial budaya dan sebaiknya menolak abtraksi masyarakat dari kontak ekonomi, sosial dan politik dalam rangka menelaah konteks kebudayaannya. Sifat kemanusiaan manusia tidak hanya terdapat dalam masyarakat tradisional atau dalam kebudayaan. Perspektif antropologis atas masyarakat apapun dapat melahirkan kombinasi interpretasi hermeneutik dan penyelidikan ilmiah.

Para sejarawan juga harus berurusan dengan masyarakat asing dan kejadian-kejadian, walaupun ini tidak selalu nyata dari karya tulisnya. Sesungguhnya masa silam merupakan negara asing yang menghendaki penjelasan proses struktur yang tidak kurang sulit dirumuskan daripada penjelasan para pakar antropologi yang meneliti kehidupan masyarakat asing. Pemakaian nilai etnografik oleh semua sejarawan sebaiknya membantu memperbaiki penjelasannya atau membantu membatasi distorsi teoritis dan ?common sense?yang berasal dari sikap sekarang yang terpusat. Tentu saja para sejarawan harus selalu terikat dengan keadaan sekarang, tetapi upaya untuk mengkarantinakan sudut pandang khusus dari melieu ini adalah esensial bila kenyataan-kenyataan zaman-zaman dan tempat-tempat asing harus diselidiki. Tetapi itulah kemungkinan karantina yang telah ditolak oleh pakar teori dan filsafat relativis. Sementara mereka juga telah mendukung sikap etnografis yang telah mereka klaim bahwa semua investigasi adalah subyektif. Kaum strukturis tidak bisa setuju dengan ini, walaupun mereka simpati dengannya. Bagi mereka, kenyataan sosial tidak didekonstruksi oleh pakar teori. Kenyatan sosial dibuat dalam dan melalui aktivitas struktur agen-agen yang mempunyai pemahaman yang sadar dari lingkungan pemahaman sosial dan kultural mereka.

© Irhash A. Shamad.
www.irhash.webs.com


Selengkapnya...

Perlukah Sejarah Nasional Indonesia?

Minggu, 07 Juni 2009

SIKAP penguasa kita yang menjadi perdebatan laten adalah turut mencampuri sejarah orang lain. Lalu memaksakan sejarahnya sebagai dominasi atas sejarah orang lain itu. Begitu seterusnya, tiap pergantian rezim kekuasaan pasti diikuti serangkaian kritik terhadap penulisan sejarah konvensionalnya. Apakah dengan demikian sejarawan akademis justru akan tampil sebagai rezim baru yang akan menebarkan tirani memoria? Yang selalu menulis tanpa ada jaminan obyektivitas yang konsisten? Karena tiap orang pasti takut menulis obyektif di bawah todongan pistol.

PENULISAN sejarah pada masa Soeharto atau kerap disebut rezim Orde Baru (Orba) dilihat selalu dekat dengan penguasa. Penonjolan peran militer dan pengultusan personal sebagai orang yang paling berjasa bagi negara memenuhi buku-buku sejarah dengan label "standar nasional". Dalam hal ini, interpretasi penulis sejarahnya tidak bisa disalahkan begitu saja. Labelisasi itu sejak awal dilukiskan sebagai stigma positif berlakunya nasionalisme baru Indonesia. Sejarawan akademis sebagai pilar penting penulisan sejarah terlibat aktif memaparkan interpretasinya dan menyuguhkan desain konstruksi memoria bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah militer. atau paling tidak mempunyai masa lalu yang berisi para pecundang, kriminal, pembunuhan, dan pengkhianatan.

Herbert Butterfield dalam buku The Whig Interpretation of History (1931) mencoba memberi batasan penilaian yang bisa diberikan oleh sejarawan. Dia mencatat, lepas dari kesalahan penafsiran, sejarawan bertugas untuk memberi argumentasi yang lebih kepada upaya kritik dan moralitas serta menjauhi hasrat untuk menghakimi. Ilham positif yang bisa diterimakan dari "debat kusir" seputar interpretasi adalah kesalahan sejarawan dalam memberi tujuan dari interpretasi sejarah. Jika sejarah obyektif adalah peristiwa (moment) itu sendiri, maka sejarah subyektif berdekatan dengan penafsir (interpreter) yang memberi makna bagi historiografi (penulisan sejarah). Kita masih belum biasa menempatkan sejarawan yang berstatus merdeka dan bebas untuk menulis apa yang perlu dituliskan

Dalam masa Orba, yang paling bertanggung jawab terhadap penulisan sejarah nasional adalah sejarawan akademis. Beranjak dari pengertian, sejarah obyektif harus tunggal dan negara (penguasa) berhak mendistribusikannya demi kepentingan ideologis atau segala sesuatu yang membutuhkan sejarah sebagai legitimasinya. Sejarah dibawa untuk melanjutkan tradisi hegemonik dari pendahulunya, yakni mitologi. Konsep terakhir ini adalah pilar tegaknya pusat-pusat kekuasaan. Ada benarnya jika dikatakan, sejarawan Orba hanya merekonstruksi mitos kepahlawanan (epos), bukan menyajikan sebuah rekonstruksi sejarah.

TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.

Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.

Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.

Titik tolak usulan untuk mereinterpretasi sejarah nasional yang awalnya datang dari kelompok "pinggiran" dan "terpinggirkan" oleh kekuasaan Orba, tidak akan banyak membantu. Selama mentalitas sejarawan yang mengusung dominasi penulisan sejarah di puncak menara gading atas nama akademis dilanggengkan, bisa dikhawatirkan sejarawan akan tetap dekat dengan kekuasaan. Tidak ada upaya kritis untuk menafsirkan peristiwa sejarah dengan leluasa, merdeka, dan variatif.

Setiap negara mempunyai kepentingan untuk menegaskan eksistensi historisnya dengan membuat buku standar. Jika unsur seperti nasionalisme amat kuat pada penulisan sejarah awal kemerdekaan, tidak perlu dimungkiri, nasionalisme membuahkan kedekatan sejarawan dengan kekuasaan. Sejarawan dan penguasa mempunyai tugas sama, yakni
menghakimi.Tuntutan reinterpretasi sejarah nasional pascareformasi 1998 akhirnya membuahkan hasil dengan upaya revisi buku standar Sejarah Nasional Indonesia yang melibatkan ratusan sejarawan. Meski proyek ini belum selesai, namun upaya sosialisasi kepada masyarakat luas belum sepenuhnya terwujud. Penulisan itu terkesan eksklusif karena semua tim berdiri dan dibentuk oleh rezim yang berkuasa.

Dalam negara demokrasi, kekuatan-kekuatan sipil seharusnya lebih optimal. Negara hanya sebagai fasilitator untuk menjembatani pemenuhan kebutuhan warga negaranya untuk bertutur tentang masa lalunya. Pengembangan dan penguatan wahana penulisan sejarah di luar sejarawan akademisi ini sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem demokrasi yang mapan. Lebih tepat dinyatakan, negara akan mendukung setiap usaha historiografi alternatif.

HAMBATAN terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya. Beberapa waktu lalu sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengusulkan dibentuknya Komisi Nasional (Komnas) Sejarah yang berfungsi sebagai komisi independen yang berwenang mengurusi persoalan sejarah, mencakup reinterpretasi, pelurusan sejarah, penyelidikan untuk kepentingan rekonsiliasi yang berada di bawah presiden. Menurut saya, gagasan ini harus diletakkan dalam posisi yang tegas dan didukung aspek legalitas bahwa kekuasaan tidak berhak mengintervensi kerja-kerja Komnas Sejarah. Tetapi apakah bisa? Karena di saat yang sama ada tumpang tindih tugas dan wewenang antara Komnas HAM dan KKR.

Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.

Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi.Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah. Bukan sebagai hegemoni penguasa, tetapi sebagai jati diri personal, masyarakat lebih-lebih sebuah bangsa. Sehingga cukup diperlukan Sejarah Indonesia saja.

© Muhammad Faishal
Direktur History Institute for Society Transformation (HISTra)
Sumber: Kompas Cyber Media


Selengkapnya...