Sejarah Sebagai 'Rememoration'

Selasa, 29 Juni 2010

BUKU “Pembantaian PKI di Indonesia: Kasus Jawa dan Bali 1965-1966” (terjemahan dari The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali) ini bukan hanya memaparkan suatu wilayah ingatan yang boleh dikatakan kurang mendapat perhatian dari para sarjana Indonesia maupun asing, tetapi secara tidak langsung juga menawarkan satu jenis historiografi alternatif dalam membahas kekerasan massal masa lampau. Dengan memusatkan perhatiannya pada pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh komunis menyusul meletusnya ‘Gerakan 30 September 1965’, buku ini tampak berupaya keluar dari perdebatan tentang apa dan siapa dalang di balik ‘Gerakan’ itu. Saya kira bukan maksud buku ini untuk menganggap perdebatan semacam itu sama sekali tidak berguna, tetapi yang hendak ditekankan adalah sesuatu yang tidak kalah seriusnya dalam perjalanan sejarah Indonesia sesudah 1965, yakni pembantaian massal yang membawa berbagai efek psikologis, sosial dan kultural yang terasa hingga jauh sesudah pembantaian itu selesai. Dalam istilah sejarawan Prancis Pierre Nora, penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian itu disebut ‘rememoration’.

Sebagai satu jenis historiografi, ‘rememoration’ menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan ‘apa yang sesungguhnya terjadi’ itu sendiri (Nora, 1996: xiv). Buku The Indonesian Killings ini layak disebut sebagai satu bentuk ‘rememoration’ sekurang-kurangnya dalam tiga hal.

Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan Bali, apapun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, buku ini hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengkambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih dari tiga dasawarsa.

Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu, buku ini mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang menyusul ‘Gerakan 30 September 1965’ bukan sekedar pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah ‘Kesaktian Pancasila’ menjadi simbol dari keterputusan sejarah yang dramatis.

Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan ‘apa yang terjadi di seputar 30 September 1965’ dan masa-masa sesudahnya, buku ini hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai ‘penyelamat negara dan bangsa’ dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap ‘keblinger’ (baca: mereka yang dituduh komunis). Wacana populer semacam ini turut membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai ‘pengkhianat’ sekalipun.

Tampak bahwa buku ini menjelaskan masa kini bukan dengan mengaitkannya dengan masa lampau, tetapi dengan bagaimana masa lampau diingat kembali (to rememorate) pada masa kini (bab 4). Dalam konteks bagaimana Orde Baru membangun hegemoni ideologi, tampak bagaimana masa lampau telah dimonumenkan. Dan monumen jelas satu bentuk ingatan yang parsial, memuja kebenaran monolitik, dan merayakan sejarah sebagai sesuatu yang kaku dan baku (Santikarma, 2003). Tetapi, buku ini juga mengingatkan bahwa sekalipun monumen Orde Baru telah tegak berdiri, dokumen-dokumen ingatan yang berserak pada beberapa korban dan saksi tetap tak bisa dibungkam. Artinya, monumen itu tidak akan selamanya sepi dari usikan dan bahkan gugatan.

Ketika buku ini pertama kali terbit (tahun 1990), monumen dan dokumen itu tampak sebagai dua hal yang berada dalam dunia yang berbeda, yakni dunia yang tampak dan dunia yang tersembunyi. Ketika buku ini kini (2003) bisa kita baca dalam bahasa Indonesia yang (konon) tidak sepenuhnya baik dan benar, dokumen-dokumen ingatan itu mulai terartikulasikan secara publik dan mencorat-coret monumen. Terbitnya buku-buku otobiografi sejumlah eks-tapol ‘peristiwa 1965’ jelas merupakan corat-coret atas ‘kesakralan’ monumen Orde Baru tersebut. Tidaklah mengherankan bila mereka yang mendaku turut membangun atau sebagai ahli waris monumen Orde Baru terus-menerus melantunkan lagu ‘bahaya laten PKI’. Jika demikian halnya, sejarah sebagai ‘rememoration’ akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu. Mereka telah menjadi ‘sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri’ (Trouillot, 1995:xviii).

Buku The Indonesian Killings telah turut membantu membukakan wacana baru tentang masa lalu. Tanpa keterbukaan terhadap wacana baru, kita membiarkan diri menjadi sandera masa lalu.

Pustaka

Nora, Pierre (1996) ‘From Lieux de mémoire to Realms of Memory’, dalam Nora, Pierre (ed.) Rethinking the French Past: Realms of Memory, Vol. 1, New York: Columbia University Press.

Santikarma, Degung (2003) ‘Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal: Politik Representasi Kekerasan di Bali’, Kompas, 1 Agustus.

Trouillot, Michel-Rolph (1995) Silencing the Past: Power and the Production of History, Boston: Beacon Press.

© Budiawan
http://www.mesias.8k.com/rememoration.htm


Selengkapnya...