Historiografi dan Masalah Relevansi Kekinian

Senin, 30 September 2013

Manusia dalam kehidupannya, baik secara individual maupun sosial, sesungguhnya tidak bisa terpisah dari sejarah, sebagaimana juga manusia sebagai individu tidak bisa dipisahkan dari ikatan lingkungan sosialnya. 
Hal pertama didasarkan bahwa ciri eksistensi manusia memiliki struktur historikalitas, yakni ‘eksistensi yang mewaktu atau menyejarah’. Manusia sebagai obyek, struktur ke’kini’annya tidaklah bersifat statis, tetapi lebih merupakan ‘dialogi’ atau perjumpaan yang terus menerus antara masa lalu dan masa depan. Apapun yang dipikirkan dan apapun prilaku yang ditunjukkan oleh manusia pada hari ini, selalu berorientasi ke masa lalu dan masa depan, yang oleh Husserl disebutkan bahwa ‘manusia setiap saat berretensi dan berprotensi’, yaitu mengenggam yang sudah dan menjangkau yang akan datang (Husserl dalam Poespoprodjo, 1987 : 27). Dengan demikian, masa lalu bukanlah merupakan kurun waktu yang secara definitif telah ditutup, akan tetapi selalu berkaitan dengan eksistensi manusia di waktu kini, dan waktu ‘kini’ sekaligus juga memiliki keterarahan ke masa depan.

Hal kedua dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, didasarkan bahwa manusia sebagai individu memiliki ketergantungan dengan lingkungan sosialnya. Ini merupakan salah satu faktor yang selalu harus disertakan dalam pengamatan dan analisis tentang manusia. Karena, hampir semua prilaku aktual manusia secara indvidual akan selalu mempertimbangkan dan sekaligus dikontrol oleh lingkungan sosial dan segala struktur yang membentuknya. Karena itu, penyelidikan tentang fenomena manusia sebagai obyek kajian ilmiah telah menuntut analisis yang lebih dari sekedar analisis seperti yang berlaku pada obyek-obyek ilmu alam. Demikianpun kajian sejarah tentang manusia, sesungguhnya merupakan penelaahan tentang kehidupan sosial dengan segala aspek yang membentuknya dalam kapasitasnya yang mewaktu/menyejarah itu. 
Berangkat dari apa yang dikemukakan di atas, penulis berasumsi bahwa bila realitas manusia memiliki struktur historikalitas yang mensyaratkan pertimbangan kesejarahan dalam penyelidikannya, maka suatu karya sejarah yang dihasilkan (historiografi) seyogianya juga berstruktur historikalitas agar tidak menjadi suatu kajian yang hanya berhenti sebatas pengetahuan informatif masa lalu, akan tetapi suatu karya sejarah yang memiliki tawaran solutif terhadap masa kini. Di sini penulis memberanikan diri menggunakan terminologi historikalitas untuk bahasan historiografi. Terminologi ini dimaksudkan untuk menyebut suatu karya sejarah yang tidak hanya berhenti pada deskripsi masa lalu untuk masa lalu, tetapi pengkajian masa lalu yang relevan dengan masalah-masalah sosial-kultural hari kini. 

Historiografi dan Kesadaran Sejarah
Historiografi adalah karya sejarah masa lalu manusia yang lahir dari tingkat kesadaran sejarah yang dimiliki oleh penulis pada zamannya. Setiap generasi akan mengungkapkan sejarah masa lalunya masing-masing sesuai dengan tingkat kesadaran sejarah itu. Oleh karena itu, kontent historiografi sebagai rekonstruksi masa lalu dari waktu ke waktu akan terus berubah dan mengalami perkembangan dan pembaharuan-pembaharuan menurut perspektif metodologis yang dimiliki. Begitupun banyaknya dimensi kehidupan masa lalu juga telah memberikan pilihan tematik yang begitu luas bagi penulis sejarah dan sekaligus menjadi tantangan baru dalam menggunakan perspektif metodologis yang berbeda dalam penelusuran dan penganalisisannya.
Penulisan sejarah di Indonesia, termasuk penulisan sejarah tentang Islam, seyogianya tentu berjalan dan melangkah seiring dengan tingkat historisitas masyarakat dan perkembangan studi-studi kesejarahan di dunia pendidikan tinggi. Meskipun demikian, dari realitas yang ada diketahui bahwa tidak semua produk karya sejarah yang dihasilkan itu merupakan karya sejarawan akademik dari perguruan tinggi, akan tetapi juga dari kalangan sejarawan amatir. Bahkan tidak jarang banyak lahir karya-karya ‘sejarah’ dari luar dunia akademik yang notabene lebih diminati ketimbang karya-karya sejarah yang bersifat imiah.
Secara umum perkembangan corak penulisan sejarah di Indonesia sesuai tingkat historisitasnya, telah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk atau corak penulisan sejarah itu oleh Sartono Kartodirdjo dikategorikan kepada antara lain : religio-magis/kosmogonis, etnocentris, natiocentris, kolonial-elitis, dan empiris-scientific (Kartodirdjo, 1982 :3). Corak religio-magis/kosmogonis adalah karya sejarah yang banyak dihasilkan oleh masyarakat-masyarakat etnik tradisional seperti Hikayat, Babad, Tambo. Lontarak, dan lain-lain. Penulisan sejarah ini seringkali bersifat “pengagungan” terhadap masa lalu, bercorak mithologis, dan bahkan tidak jarang menyertakan unsur-unsur kekuatan supranatural dalam rangka penokohan aktor sejarah yang dideskripsikan. Sejarah religio-magis ini biasanya bercorak etnocentrisme, yakni pendeskripsian yang memfokus pada ruang lingkup terbatas pada masyarakat etnik lokal. Kemudian, dengan masuknya bangsa kolonial ke wilayah nusantara telah diperkenalkan pula suatu corak penulisan sejarah yang bernuansa eurocentrisme dengan lebih ‘mengelus-elus' pelataran istana dan kekuasaan raja-raja tradisional. Corak ini telah melahirkan sejarah kerajaan-kerajaan besar yang terdapat di berbagai wilayah nusantara. Corak inilah yang disebut oleh Sartono sebagai kolonialis-elitis.
Masa-masa sesudah kemerdekaan di Indonesia terjadi beberapa perubahan mendasar corak penulisan sejarah. Perubahan itu muncul dari kesadaran akan pentingnya penggarapan sejarah secara akademis dengan mulai masuknya pemikiran annales dalam penyelidikan sejarah di Indonesia.
Aliran ini memperkenalkan penulisan ‘sejarah total’, dimana sejarah tidak lagi berfokus pada ruang-ruang sempit etnik lokal atau pada bidang-bidang yang dianggap penting, tetapi ‘sejarah total’ yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sejarah, menurut aliran ini, bertujuan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi struktural dengan menyibakkan mekanisme-mekanisme historis yang terdapat dalam struktur-struktur geografis, ekonomi dan kultural (cf. Taufik Abdullah, 1999 : 55).
Penyelidikan sejarah mulai memasuki wilayah empiris-scientific, dimana penggarapan sejarah dituntut memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Sementara itu, kegairahan ilmiah dalam bidang sejarah telah ditandai dengan dilaksanakannya berbagai seminar kesejarahan, begitupun Kongres Nasional Sejarah diadakan pertama kali pada tahun 1957, dan hingga saat ini tetap dilaksanakan hampir setiap tahun. Dengan demikian penulisan sejarah di Indonesia mulai bergeser dari corak penulisan tradisional, konvensional atau kolonial ke arah penulisan sejarah kritis dan analitis dengan beberapa pengayaan metodologis dari beberapa disiplin keilmuan sosial dan humaniora lainnya.

Menurunnya Antusiasme terhadap Sejarah
Suatu kenyataan yang sulit dipungkiri saat ini ialah bahwa di tengah kemajuan metodologi sejarah itu, ternyata sejarah masih merupakan disiplin yang kurang diminati. Meskipun kenyataan itu masih asumsi dan belum didukung penelitian yang komprehensif, namun setidaknya, gambaran tentang rendahnya minat terhadap sejarah terlihat dari perbandingan jumlah peminat jurusan-jurusan pada perguruan tinggi, khususnya di Indonesia. Setiap tahun jumlah peminat jurusan sejarah selalu menempati urutan terbawah dibanding jurusan-jurusan lainnya.
Selain itu, buku-buku sejarah ternyata kurang memperoleh perhatian kalangan pembaca umum. Rata-rata buku-buku sejarah lebih banyak diminati hanya oleh kalangan yang bergelut dengan masalah-masalah kesejarahan, mahasiswa atau mungkin dosen-dosen sejarah sendiri. Begitu juga skripsi, tesis ataupun disertasi sejarah yang sering hanya menjadi penghuni abadi yang berdebu di perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi.
Malahan yang lebih ironis ialah, ternyata tidak banyak sejarawan yang dilirik oleh steakholder dalam perencanaan dan pengambilan keputusan . Kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang terbatas, sebagian diantaranya hanya dilibatkan ketika dilaksanakannya suatu “proyek” penulisan sejarah resmi yang bertujuan untuk memberikan legitimasi pada pemerintahan yang sedang berjalan, atau sebagaimana disebut oleh Taufik Abdullah sebagai “sejarah pesanan” . Sementara yang lainnya dilibatkan pada proyek-proyek individual berupa penulisan tentang biografi (atau lebih tepat : riwayat kesuksesan) ‘seseorang’ yang memerlukan ‘dongkrak’ popularitas untuk meraih keuntungan-keuntungan politis tertentu.  Kenyataan yang disebutkan, hemat penulis, disebabkan antara lain oleh adanya anggapan bahwa keilmuan sejarah kurang relevan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan kontemporer. Hal ini terlihat dari sejumlah buku-buku sejarah (historiografi) yang diterbitkan tidak banyak yang dapat menawarkan perspektif bahwa informasi kesejarahan memiliki relevansi terhadap masalah-masalah kekinian. Keadaan ini pulalah yang mungkin telah menyebabkan steakholder kurang memerlukan pertimbangan analisis strategik dari aspek kesejarahan. Dampak dari hal yang disebutkan itu telah berimplikasi pada rendahnya ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan sejarah, sehingga berakibat pula pada menurunnya minat calon mahasiswa untuk mendalami studi sejarah dan untuk ‘merakit’ masa depan mereka pada jurusan sejarah. Apalagi pula, ada beberapa ‘kegamangan’ lainnya bahwa urusan pengkajian masa lalu pada disiplin sejarah selalu dianggap memiliki kemestian menggunakan raw material yang sulit, karena sumber berupa “serpihan-serpihan masa lalu ” yang tidak mudah ditemukan dan sering tidak lengkap.

Historiografi dan Pertimbangan Relevansi Kekinian
Masalah temporalitas atau aktualitas seringkali terabaikan dalam pemilihan topik penelitian sejarah. Biasanya, prinsip kerja kesejarahan selalu dihubungkan dengan penggarapan masa lalu untuk masa lalu, demi masa lalu, dan sama sekali terlepas dari konteks masa kini. Bahkan, penggalian atau pengungkapan masa lalu lebih didorong oleh keinginan membangkitkan ‘kenangan indah’ masa lalu untuk dinikmati (antikuarianisme). Pemilihan topik penelitian oleh sejarawan hanya lebih pada keinginan untuk mengungkapkan secara naratif suatu episode sejarah yang hilang atau episode yang dapat menunjukkan ‘kejayaan’ yang pernah di raih pada masa lalu daripada motivasi yang muncul dari fenomena aktual yang terjadi hari ini.
Suatu penelitian ilmiah biasanya berangkat dari dorongan keingintahuan atas ‘masalah’ (problem) yang dihadapi untuk mendapatkan solusi-solusi yang tepat dari masalah itu. Dorongan itu semestinya juga berlaku pada penelitian sejarah. Sejarawan yang memiliki kepekaan akademis seyogianya memiliki keperihatinan terhadap problema kemasyarakatan yang aktual. Keperihatinan ini menjadi pendorong untuk menemukan solusi terhadap problema itu pada analogi-analogi peristiwa masa lalu. Dengan demikian penelusuran masa lalu (oleh sejarawan) dilakukan dalam rangka memetik nilai-nilai umum yang mungkin berguna untuk memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi hari ini.
Dalam kaitan ini, meskipun ia menelusuri berbagai kausalitas masa lalu sesuai konteks historis dan jiwa zamannya, namun, penjelasan setiap unsur peristiwa beserta kausalitasnya pada waktu itu dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah yang sama pada “hari ini”, paling tidak, ia dapat menunjukkan analogi-analogi peristiwa itu yang dapat dijadikan dasar penyelesaian masalah yang dihadapi pada waktu kini. Dengan begitu sejarawan telah memperlihatkan keterhubungan (relevansi) karya sejarah (historiografi) yang dia hasilkan dengan realitas kekinian, terutama dari segi nilai-nilai yang dapat dipedomani untuk masalah-masalah yang ditemui hari ini. Dengan begitu historiografi yang dihasilkan tidak lagi menjadi ‘sejarah yang melulu masa lalu’, dimana kajian-kajian keilmuan yang dilakukan tidak sekedar informasi tentang masa lalu dengan segala problematika dan romantikanya, akan tetapi suatu karya yang dapat menghasilkan penjelasan ilmiah dan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan yang terjadi masa kini.
Dengan demikian diharapkan karya-karya sejarah yang dihasilkan akan lebih memiliki ‘greget’ sebagai salah satu disiplin keilmuan yang dapat merangsang kegairahan intelektual dan sekaligus memiliki prospek sebagai salah satu bidang kajian yang dibutuhkan oleh stakeholder dalam program-program yang terkait dengan kehidupan sosial dan kultural hari ini. Semoga!
Wallahu a’lamu bish shawab
© Irhash A. Shamad
http://www.irhashshamad.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar