Penulisan Sejarah

Senin, 25 Mei 2009

Masa lalu yang diungkapkan -dalam sejarah- disebut historiografi. Bentukan kata historiografi adalah merupakan gabungan dari dua kata Yunani, yang terdiri dari : historia (istoria) dan grafien. Historia pada awalnya berarti : penelitian tentang gejala alam fisik (physical research), sementara grafien berarti gambaran, uraian, pengungkapan atau penulisan. Penggunaan kata historia untuk menunjuk kepada pengertian di atas, sudah lazim terlihat pada khazanah ilmu pengetahuan Yunani kuno. Hecateus (l.k. 500 sM.), misalnya, menggunakan kata ini untuk hasil penyelidikannya tentang gejala-gejala alam yang terjadi di wilayah pinggiran daerah Yunani. Tema pokok dari pembahasan historia lebih ditujukan kepada wilayah-wilayah ethnografi dan lebih utama pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh manusia. Dengan demikian dipahami bahwa kata historia mengacu kepada kajian sistematis yang tidak hanya mempunyai wilayah cakupan tentang alam tetapi juga tentang manusia yang terkait dengan gejala yang telah terjadi itu.

Pengertian istoria pada akhirnya mengalami pergeseran akibat dari telah meluasnya penggunaan kata scientia (latin) yang lebih banyak ditujukan untuk hasil-hasil penelitian gejala alam fisik yang non kronologis. Karena itu kata historia mendapat ketegasan pengertian kepada kajian tentang gejala-gejala kemanusiaan di masa lampau secara kronologis. Gejala-gejala kemanusiaan tentunya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia pada tempat dan waktu tertentu. Dengan demikian objek yang menjadi wilayah bahasan dari kata historia mencakup tiga komponen yaitu: peristiwa, manusia dan masa lalu. Dari istilah ini kemudian dijadikan akar dari kata history (Inggris) yang kemudian diterjemakan menjadi sejarah dalam bahasa Indonesia. Kata grafien berarti pengungkapan, pemaparan, penulisan atau pertelaan. Jadi pengungkapan tentang peristiwa masa lalu manusia secara etimologis disebut dengan historiography (penulisan sejarah).

Untuk terwujudnya suatu penulisan sejarah, para sejarawan telah merumuskan beberapa langkah metode yang harus dilakukan dalam kegiatan penelitian sejarah. Langkah pertama ialah kegiatan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber atau berkas-berkas yang di tinggalkan oleh masa lalu manusia yang dapat dijadikan objek penelitian. Langkah kedua adalah kegiatan kritik, yaitu melakukan pengujian atau penilaian terhadap sumber-sumber yang telah didapatkan itu untuk menentukan mana diantara sumber yang dinyatakan shahih (kredibel). Langkah ketiga adalah sintesis yakni mengklasifikasi sumber-sumber yang dinyatakan kredibel sesuai waktu, tempat dan pokok masalah serta menyusunnya menjadi fakta-fakta untuk kemudian mencari hubungan masing-masing fakta secara analitis dan logis. Sedangkan langkah terakhir adalah penulisan yaitu suatu tahap di mana sejarawan harus mendeskripsikan jaringan-jaringan fakta tersebut menjadi sebuah cerita yang sistematis .

Terwujudnya suatu karya sejarah melalui proses di atas menuntut tidak hanya kesungguhan peneliti dalam mendapatkan sumber, kemudian dengan mengandalkan fakta-fakta yang disusun berdasarkan sumber-sumber itu, tetapi juga lebih dituntut kemampuan untuk menjalin dan memaparkan fakta-fakta itu secara sistematis dan logis, untuk kemudian ia harus menyusun cerita di atas fakta-fakta itu. Dalam mewujudkan cerita sejarah seringkali sejarawan dihadapkan dengan persoalan tidak lengkapnya sumber, oleh karenanya dalam memaparkan cerita sejarah ia harus mampu untuk merangkai dan memberikan “jembatan” yang menghubungkan masing-masing fakta itu dengan memberikan inferensi-inferensi berupa interpretasi terhadap fakta-fakta yang ia buat berdasarkan sumber yang didapatkan, disamping ia harus mampu menemukan hubungan-hubungan “intrinsik” dari setiap fakta yang telah disusunnya. Pada bahagian ini sesungguhnya sejarawan tidak lagi dipandu oleh obyek (sumber), akan tetapi faktor “diri” nya yang lebih banyak memainkan peranan. Keterlibatan faktor “diri” penulis di sini pada dasarnya menjadikan suatu karya sejarah berhadapan dengan persoalan subyektifitas . Unsur lingkungan kebudayaan, situasi sosial, kepribadian dan lain-lain, seringkali ikut mempengaruhinya dalam memaparkan cerita sejarah, terutama dalam memberikan penafsiran (interpretasi) terhadap sumber serta memberikan analisa-analisa logis terhadap fakta dalam bentuk inferensi seperti yang disebutkan terdahulu. Karena itu suatu karya sejarah yang dihasilkan oleh penulis sejarah pada suatu waktu, sekaligus juga adalah merupakan gambaran dari bentuk budaya masyarakat di mana penulis itu hidup.

Konsep Historiografi

Para sejarawan berbeda pendapat tentang konsep historiografi sebagai bahagian dari disiplin ilmu sejarah. Di satu pihak historiografi dipahami sebagai metode sejarah bila diartikan secara etimologi seperti yang dikemukakan terdahulu. Dipihak lain historiografi dihubungkan dengan filsafat sejarah, karena untuk mewujudkan suatu karya sejarah itu senantiasa berurusan dengan masalah subyektifitas dan obyektifitas sebagai juga yang telah tersinggung diatas. Dalam bahagian lain historiografi juga memperlihatkan kecenderungan pengertian sebagai sejarah penulisan sejarah.

Historiografi --baik dihubungkan dengan metode sejarah maupun dengan filsafat sejarah-- sepintas akan sulit untuk dapat dibantah. Karena secara etimologi pengertian penulisan atau pemaparan sejarah akan mengandung pemahaman tentang proses yang dilalui untuk terwujudnya karya sejarah (baca : penulisan sejarah). Suatu proses yang ilmiah akan tidak terlepas kaitannya dengan metode sebagai jalur yang mesti dilalui baik dalam penelitian maupun penulisannya. Maka ‘penulisan’ di sini, lebih dipahami sebagai mencakup hal-hal yang berkaitan dengan seluk-beluk ilmu yang menghasilkannya itu ketimbang sebagai pengungkapan tentang hasil sejarah yang sudah jadi.

Penempatan unsur subyektif yang tak terlepas dari seorang sejarawan dalam memberikan interprestasi terhadap fakta-fakta masa lampau manusia, demikianpun keharusan-keharusan yang tidak dapat tidak dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau dengan kenyataan data yang sangat terbatas, menjadikan pemahaman terhadap penulisan sejarah itu sebagai suatu proses subyektif. Dengan demikian penulisan sejarah (historiografi) itu juga memasuki persoalan-persoalan yang terdapat dalam lapangan filsafat sejarah.

Harry Elmer Barnes dalam bukunya : A History of Historical Writing mengemukakan pengertian historiografi secara lebih lugas, yaitu : a study of historical writing5, suatu kajian terhadap penulisan sejarah. Untuk tidak mengacaukan pengertiannya dengan kritik sejarah, maka kalangan sejarawan modern lainnya lebih mempertajam pengertian tersebut dengan mengemukakan pengertian historiografi sebagai sejarah penulisan sejarah atau sejarah dari sejarah6. Penempatan historiografi sebagai salah satu bidang ilmu sejarah yang sejajar dengan “Comparative History, Historical Monograph, Theoris and Method dan lain-lain7, telah menjadikan konsep historiografi mengacu kepada suatu tentang kajian historis dari penulisan sejarah yang sudah jadi, yang berbeda dengan spesialisasi-spesialisasi yang dibidangi oleh bidang-bidang lain dari disiplin ilmu sejarah.

Tingkat Perkembangan Historiografi

Historiografi (baca : penulisan sejarah), adalah merupakan hasil karya dari historiografer (sejarawan) zamannya yang sekaligus berkaitan erat dengan kebudayaan zaman itu. Dalam pengungkapan suatu peristiwa masa lampau, seorang sejarawan akan senantiasa bertolak dari pandangan yang terlahir dalam lingkungan kebudayaannya. Pertanyaan yang diajukan terhadap masa lampau, setidaknya adalah merupakan pertanyaan yang muncul dari realitas kebudayaan di mana sang sejarawan itu hidup. Dengan demikian corak dan bentuk historiografi yang dihasilkan akan sejalan dengan bentuk kebudayaan masyarakat yang menghasilkan. Suatu masyarakat primitif yang mempunyai kepercayaan serba dewa akan menghasilkan historiografi yang serba dewa pula seperti teogoni dan kosmogoni ; masyarakat Arab pra Islam yang kehidupan mereka nomadden serta mempunyai kesombongan etnis dan genealogis juga menghasilkan historiografi genealogis pula ; mereka menyebutkan dengan : nasab.

Demikian pula perkembangan historiografi akan senantiasa pula ditentukan oleh tingkat historisitas (kesadaran sejarah) yang mereka miliki ; sejauhmana mereka memandang bahwa masa lalu harus diungkap secara benar, untuk apa pengungkapan itu dilakukan dan sebagainya. Perobahan bentuk dan cara pengungkapan, metode, struktur, isi, maupun gaya bahasa dalam suatu historiografi adalah merupakan proses yang bergerak mengikuti tingkat kesadaran historisitas itu.

Menurut tingkat perkembangannya, historiografi dibagi kepada dua priode, yaitu : Tradisional dan Modern.

1. Historiografi Tradisional

Bentuk-bentuk historiografi tradisional adalah merupakan tradisi penuturan dan penulisan yang berkembang di dalam masyarakat yang kehidupan dan kebudayaannya bersahaja. Oleh karenanya dapat juga disebut sebagai historiografi primitif.

Dalam kenyataannya masyarakat tradisional atau primitif telah menghasilkan beberapa bentuk historiografi yang adakalanya tertulis atau dalam bentuk penuturan lisan. Diantara bentuk-bentuk historiografi tradisional itu ialah :

a. Mitos

Bentuk mitos adalah penulisan atau penuturan sejarah yang merupakan penggambaran kenyataan melalui proses emosional dan kepercayaan. Biasanya mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bahagian-bahagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum. Di dalam mitos tidak ada unsur waktu dan tidak ada masalah kronologi . Bentuk ini di Indonesia terlihat seperti pada penulisan

Tambo pada masyarakat Minangkabau dan Babad di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam masyarakat tradisional keterikatan antara manusia dengan kekuatan gaib di luar dirinya sangat erat sekali. Kekuatan tersebut dipercayai sepenuhnya sebagai penentu dan penggerak semua peristiwa-peristiwa individu dan masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan kepercayaan serba dewa. Cara hidup dan kepercayaan seperti ini akan senantiasa terlihat pada penulisan sejarah yang mereka hasilkan. Oleh karenanya dalam masyarakat tradisional banyak dihasilkan sejarah yang bercorak kepercayaan dalam bentuk teogoni dan kosmogoni

b. Genealogis

Bentuk ini merupakan penggambaran sejarah yang melukiskan tentang hubungan individu dengan individu lainnya berdasarkan keturunan (pertalian darah) atau pertautan antara satu generasi dengan generasi yang lain.

Penulisan genealogis biasanya berkembang dalam masyarakat tradisional, terutama yang mempunyai pandangan kesukuan yang sangat besar dan pengungkapannya sering ditujukan sebagai upaya mewujudkan legitimasi atau pengakuan atas seorang individu dan keturunannya di lingkungan masyarakatnya. Contoh yang baik untuk bentuk ini ialah seperti kebiasaan masyarakat Arab pra Islam menuliskan genealogis atau silsilah keturunan mereka, karena tradisi mufakharah (kesombongan) kesukuan itu sangat menonjol dalam kehidupan mereka. Bahkan dalam masyarakat Sumeria di lembah Mesopotamia, juga ditemukan penulisan-penulisan semacam itu. Di Indonesia juga terdapat tradisi yang sama, seperti penulisan silsilah dalam masyarakat Jawa dan masyarakat Minangkabau.

c. Kronik

Bentuk kronik ialah pengisahan sejarah yang telah didasarkan atas kesadaran waktu, yaitu dengan menempatkan urutan peristiwa dalam dimensi waktu tertentu. Bentuk ini setidaknya adalah awal dari sejarah yang berpusat pada tindakan manusia serta sudah memperlihatkan hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan sejarah10. Babad Tanah Jawi dan Serat Jangka Jayabaya dari masyarakat Jawa dan beberapa penulisan sejarah tradisional di Sulawesi Selatan, agaknya adalah merupakan contoh yang baik untuk penulisan kronik di Indonesia.

d. Annal

Annal adalah pemaparan sejarah masa lalu yang telah menempatkan fakta peristiwa dalam konteks waktu tertentu, akan tetapi penulisannya sering kali terbebas dari urutan fakta kronologis. Dalam bentuk ini sudah terlihat adanya jaringan persepsi dan interpretasi penulisnya, malah sudah terdapat pula penempatan gejala (fakta) dalam suatu totalitas yang mencerminkan pandangan masyarakat penganutnya. Annal adalah perkembangan lanjutan dari bentuk kronik, bahkan bentuk ini dianggap merupakan fase transisi antara penulisan epos tradisional dengan historiografi modern. Penulisan sejarah bentuk annal seperti ini terlihat pada penulisan hikayat-hikayat, Sejarah Melayu, dan sebagainya.

2. Historiografi Modern

Penulisan sejarah tradisional seperti telah dikemukakan terdahulu, lebih merupakan bahagian karya sastra ketimbang karya sejarah. Penulisan sejarah di sini lebih banyak mengutamakan kepentingan pesan yang akan disampaikan, oleh karenanya pengungkapan fakta sering tidak mempertimbangkan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta bercampur aduknya antara fakta dengan peristiwa-peristiwa fiktif, magis dan sebagainya.

Penulisan sejarah Yunani dan Romawi di Eropa sebelum abad tengah, seperti Heredotus misalnya dalam mengungkapkan sejarah tentang masyarakat Yunani dan Mesir kuno, masih terdapat campuran yang membingungkan antara fakta dan fiksi. Heredotus yang dianggap oleh bangsa Eropa sebagai bapak sejarah itu menganggap bahwa sejarah hanyalah bertujuan menyampaikan pesan-pesan. Demikian pula Thucydides (460-399 sM) menulis tentang Pelopponnesus, walaupun sedikit lebih kritis dibanding dengan Heredotus, namun ia lebih mengutamakan penulisan sejarah sebagai teladan masa lalu bagi generasi berikutnya. Livyus, seorang Romawi, telah menulis pula tentang sejarah dalam bentuk hagiografi , karena ia lebih mementingkan kebesaran Romawi daripada mengemukakan fakta-fakta yang akurat. Fakta yang ia kemukakan cenderung bersifat apriori serta lebih banyak ditujukan untuk tujuan-tujuan patriotik dan politik.

Memasuki abad pertengahan, penulisan sejarah di Eropa pada umumnya diwarnai hal-hal yang bersifat keagamaan. Sampai abad ke sebelas masehi, penulisan sejarah banyak dipengaruhi oleh pandangan sejarah Agustinus (354-430 M),menurutnya eksistensi benda-benda termasuk manusia diciptakan sesuai dengan jiwa keabadian Tuhan. Di masa ini banyak sekali lahir sejarawan yang mempunyai pandangan sejarah seperti itu, sebagai akibat dominasi gereja seluruh aspek kehidupan manusia pada saat itu. Diantara sejarawan-sejarawan itu ialah : Bede yang Agung (w. 735 M), Otto van Fresing (1110-1158 M), Mathew Paris (w. 1259 M), Joachim van Foire (1145-1102 M), Joinville (1224-1319 M), Froissart (w. 1337 M), dan lain-lain.

Penulisan sejarah di masa abad tengah secara umum mengungkapkan tentang sejarah manusia dan dunia sebagai peralihan dari penulisan sejarah yang bersifat ethnocentris dan regiocentris pada masa tradisional ke penulisan yang cendrung bersifat theocentris. Peralihan corak penulisan sejarah ini pada gilirannya telah melahirkan pandangan sejarah yang filosofis spekulatif, karena sejarawan-sejarawan masa ini tidak dapat melepaskan diri dari pandangan mitis dan keagamaan, sehingga pandangan ini bercampur dengan keharusan bahwa sejarah harus ditulis secara faktual. Dalam penulisan seperti ini sangat sulit sekali dibedakan antara hal-hal yang bersifat profane (duniawy) dengan hal-hal yang bersifat supernatural.

Mulai abad ke 15 orang-orang Eropa mulai bangkit dari keteledoran mereka pada abad tengah. Pada masa ini berbagai upaya dilakukan untuk bebas dari keterikatan gereja yang selama ini mempengaruhi cara berpikir mereka dalam segala lapangan. Di masa ini harakat dan kemampuan berfikir manusia mulai dihargai. Secara berangsur-angsur dilakukan perombakan tatanan kehidupan masyarakat, kebebasan berfikir dan struktur sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Masa ini disebut dengan Renaissance dan Humanisme.

Masa Renaissance dan Humanisme adalah merupakan fase, transisi abad tengah memasuki abad modern. Pada dasarnya aksi kebangkitan ini telah melahirkan berbagai revolusi, seperti Reformasi dan Contra Reformasi dalam lapangan keagamaan dan revolusi Intelektual dengan lahirnya faham Rasionalisme dan masa Pencerahan (Aufklarung).

Revolusi intelektual dari masa Rene Descartes (1596-1650) sampai pada puncaknya di masa Sir Isaac Newton (1642-1727) telah melahirkan banyak pemikiran serta pakar dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Diantara pakar- pakar ini telah mampu menciptakan basis-basis ilmu pengetahuan, tak terkecuali dalam lapangan sejarah. Terciptanya beberapa jenis ilmu khusus, yang pada akhirnya menjadi ilmu bantu sejarah, telah merobah pandangan terhadap sejarah sebagai suatu ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ilmuwan-Ilmuwan zaman Rasionalis yang berperan dalam lapangan ini antara lain : Jean Mabillon (1632-1707), ia telah berjasa melahirkan ilmu Diplomatik. Teori yang ia hasilkan sangat berguna untuk menguji otentisitas dan kredibilitas dokumen sejarah. Ilmu ini akhirnya menjadi ilmu bantu sejarah dalam metode kritik sumber. Dom Bernhard Monfaucon (1655-1741) mengembangkan dasar ilmu Paleografi (ilmu tentang tulisan) dan ilmu Arkeologi (ilmu tentang kepurbakalaan).

Leopold Von Ranke (1795-1886) seorang sejarawan kelahiran Prusia yang hidup di Jerman telah pula merancang formula khusus untuk pengujian sumber sejarah yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kedua formula yang disebut terakhir ini, sesungguhnya, telah digunakan oleh umat Islam di dunia timur beberapa abad sebelumnya, terutama oleh para ahli Hadits yang diterapkan untuk menguji kesahihan sanad (periwayat) Hadits, hingga puncak pengembangan penelitian dan penulisan sejarah oleh Ibnu Khaldun (w.1406 M.).

Dengan terciptanya beberapa formula metodologis ini, sejarah akhirnya menjadi lebih dari sekedar cerita masa lalu, namun suatu pengungkapan kebenaran pengetahuan tentang masa lalu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, sejarah dapat memasuki wilayah epistemologi sebagai suatu disiplin ilmu, sekaligus merupakan awal bagi historiografi memasuki periode modern.

© Irhash A. Shamad


0 komentar:

Posting Komentar