Perspektif Global dalam Penulisan Sejarah

Sabtu, 30 Mei 2009

Telah jelas perkembangan kondisi sosial-ekonomi-politik-budaya di suatu region tidak dapat dilepaskan dari "kekuatan" global yang membentuknya. Sebagai sejarawan kita tentu memahami hal tersebut. Tidak selalu hal global yang datang tersebut berwujud persis sama pada region tujuan. Dapat saja sesuatu yang hadir dari region tertentu, masuk ke region lain memiliki bentukan baru/berbeda. "Kekuatan" global yang betul-betul significant dalam proses pengglobalan dirinya adalah kapital finans (finance capital). Penulisan sejarah Indonesia jaman kolonial telah membuktikan gerak kapital finans global ini, melalui studi-studi berpendekatan ekonomi-politik. Menjadi cukup jelas bagi kita bahwa Negara [Kolonial] Hindia-Belanda diabdikan untuk kepentingan kapital finans global yang berasal dari negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika Serikat, misalnya.

Disebabkan oleh dinamika internal di sebuah region tidak dapat dipisahkan dari kapital finans global maka di setiap penulisan dan analisis persoalan-persoalan mikro, diperlukan perspektif global sebagai basis analisisnya. Kapital finans global telah membentuk social formation kapitalis di region Indonesia. Sesuatu yang "enggan" untuk diperdebatkan namun berlangsung sampai sekarang. Hal ini pula yang menyebabkan Indonesia menghadapi krisis kapitalisme-global-yang berkepanjangan.

Penulisan sejarah Indonesia pasca kolonial mengalami kemacetan dalam penggunaan perpektif global. Hal ini disebabkan perhatian para sejarawan-yang kiprahnya seharusnya muncul maksimal-terhalangi oleh berlangsungnya rejim otoriter-militer Orde Baru. Rejim ini telah menggeser sejarah dari ilmu menjadi dongeng semata. Jadilah sejarah kehilangan greget keilmuannya. Banyak sejarawan yang kemudian terlibat menjadi juru dongeng. 32 tahun Orde Baru telah mematikan penulisan sejarah Indonesia. Padahal perkembangan kapitalisme begitu cepat. Saat ini kapital finans global menuntut globalisasi. Sesuatu yang berarti: bukakan pasar seluas-luasnya untuk barang-barang over-produksi dari negeri mereka; hapuskan tarif agar penduduk lokal mampu membeli barang-barang mereka.

Pemerintah Indonesia dalam posisi meloloskan seluruh permintaan kapital finans tersebut. Plus BUMN-BUMN dijual ke kapital finans. Di sini, sebetulnya, kolonialisme berlangsung kembali. Kapital finans berkuasa atas "negara" Indonesia. Artinya, pemerintah nasional dan lokal diposisikan sebagai administratur kepentingan kapital finans global. Fenomena Negara [Kolonial] Hindia-Belanda berulang dalam konstruksi Indonesia Merdeka.

Sudah saatnya sejarawan Indonesia bangkit. Kembalikan kemampuan menggali fakta, mempertajam kemampuan menganalisis; tunjukkan bahwa sejarawan Indonesia dapat sejajar dengan sejarawan negeri lain.

© Edi Cahyono
Sumber : http://www.geocities.com/edicahy/essays/perspektif.html


1 komentar:

Ersis Warmansyah Abbas mengatakan...

Yap ... padahal sentuhan globalisasi dimana Indonesia ---sejak sebelum menjadi Indonesia --- adalah ciri historisnya

Posting Komentar